Parapuan.co - Ni Nengah Widiasih menjadi salah satu atlet perempuan Paralimpiade Tokyo 2020 di cabang olahraga angkat berat.
Ini bukan kali pertama Ni Nengah Widiasih menjadi salah satu atlet perempuan paralimpiade, sebelumnya perempuan berambut panjang ini pernah meraih medali perunggu di Paralimpiade Rio 2016.
Keren sekali ya, Kawan Puan?
Atas pencapaiannya itu, Ni Nengah Widiasih juga menargetkan dirinya membawa pulang medali di Paralimpiade Tokyo 2020.
Lalu, bagaimana perjalanan karier Ni Nengah Widiasih menjadi atlet perempuan paralimpiade ini?
Baca Juga: Optimis, Sosok Syuci Indriani Tidak Akan Menyerah di Paralimpiade Tokyo 2020
Melansir Tabloid Nova edisi 1598 yang tayang pada 2016 lalu, rupanya Ni Nengah Widiasih sudah menggeluti dunia atlet sejak SD (sekolah dasar).
Perempuan asal Bali itu cerita awalnya dia menyukai olahraga sejak dia duduk di bangku 4 SD.
Saat itu, Widi- biasanya disapa, hanya iseng saja untuk mengikuti olahraga balap atletik.
Tak disangka, Widi berhasil mengikuti kejuaraan seperti Pekan Olahraga Pelajar Cacat (Popcat) dan Olimpiade Olahraga Siswa Nasional (O2SN).
Tidak lama kemudian, Widi melabuhkan hatinya ke cabor angkat berat.
“Dulu aku cuma ikut-ikutan kakak saja. Kebetulan saat itu lingkunganku memang atlet angkat besi, angkat berat, gitu. Sampai pelatihnya melihatku dan dilatihnyalah.
Ikut perlombaan, sampai dapat juara dan medali emas pertama kali di Kejurnas 2006. Tahun 2007 langsung ditarik masuk pelatnas di sini, di Solo,” ujarnya.
Barulah setelah mengikuti beragam kompetisi, Widi berkesempatan mengikuti pelatnas untuk mengikuti ASEAN Para Games Thailand 2001.
Tak disangka, dia berhasil membawa pulang perunggu.
Hatinya begitu riang, meskipun orangtua Widi saat itu begitu khawatir dengan kondisinya.
Baca Juga: Perjalanan Karier Herryanti Herman Menggeluti IT hingga Jadi Direktur
Alami krisis kepercayaan diri
Di balik prestasi yang ditoreh Widi di Kancah Internasional, rupanya perempuan kelahiran 12 Desember 1992 ini sempat alami krisis kepercayaan diri karena kekurangannya.
Dia cerita kalau dirinya sudah mengalami polio sejak usia tiga tahun akibat kesalahan dokter.
Seiring dewasa dan masuk sekolah, Widi merasa tidak percaya diri duduk di kursi roda.
Dia hanya bisa melihat teman-temannya bermain, tapi dia tidak bisa ikut bermain.
Inilah yang akhirnya membuat Widi menangis ke orangtuanya.
“Waktu kelas satu atau dua SD, aku lupa. Saat itu pulang sekolah, aku menangis dan memeluk kedua orangtuaku. Aku tanya sama ayah, kenapa aku berbeda?
Kenapa kakiku tidak bisa berfungsi selayaknya anak-anak, sih? Kenapa kakiku kecil? Kenapa aku enggak bisa jalan, enggak bisa berdiri?” ujar Widi.
Mendengar tangisan itu, orangtua Widi pun memberikan dukungan dan kekuatan hingga bisa berprestasi seperti sekarang.
“Kamu tidak berbeda, kamu spesial. Mungkin saat ini kamu belum mengerti dan memahami apa yang terjadi denganmu, dengan kakimu.
Tapi saat kamu dewasa, kamu akan mengerti dengan baik,” kenang perempuan 26 tahun ini menirukan ucapan ayahnya.
Dari situ, Widi pun terus bangkit menjadi atlet perempuan berprestasi dari Indonesia.(*)