Parapuan.co - Kesehatan seksual dan reproduksi perempuan sering kali jadi hal yang terabaikan.
Kesehatan seksual dan reproduksi perempuan di Indonesia pun kurang lebih dipengaruhi oleh berbagai praktik dan kebiasaan yang dilakukan oleh masyarakat.
Misalnya praktik sunat perempuan yang digadang-gadang berpengaruh besar pada kesehatan seksual dan reproduksi perempuan.
Sunat perempuan atau female genital mutilation (FGM) merupakan praktik yang masih sering terjadi di sebagian besar negara Afrika sub-Sahara, negara-negara Arab, bahkan beberapa negara Asia, Eropa Timur, dan Amerika Latin.
Menurut WHO, sunat perempuan atau FGM didefinisikan sebagai pengangkatan sebagian atau seluruh alat kelamin perempuan bagian luar atau mencederai alat kelamin perempuan untuk alasan-alasan non-medis.
Baca Juga: Penggunaan Kondom Wanita untuk Jaga Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perempuan
Memang, kebanyakan praktik sunat perempuan yang terjadi di dunia tidak berlandaskan pada alasan medis.
Justru, sebagian besar praktik sunat perempuan dianggap sebagai bagian dari adat-istiadat dan ajaran agama.
Di Indonesia sediri, data UNICEF tunjukkan jika sebanyak 49% anak perempuan dibawah usia 12 tahun sudah menjalani praktik sunat perempuan.
Lalu, apakah manfaat dari praktik sunat perempuan ini?
Tindakan pemotongan sebagian kecil dari alat kelamin perempuan ini dilakukan oleh berbagai suku dan kebudayaan di dunia dengan alasan yang berbeda-beda.
Namun, UNFPA memaparkan, ada lima alasan utama yang menyebabkan suatu suku dan budaya tertentu di negara-negara tertentu melakukan praktik sunat pada perempuan.
Alasan pertama menyangkut alasan psikoseksual, di mana sunat perempuan didedikasikan demi mengontrol gairah seksual perempuan, yang dianggap bisa jadi tak terbendung jika bagian dari alat kelamin, terutama klitoris tidak diangkat.
Sunat pun menjadi salah satu cara untuk memastikan keperawanan perempuan yang belum menikah, serta memastikan perempuan akan setia pada suatu hubungan setelah menikah.
Baca Juga: Pernikahan Dini Menjadi Fenomena Baru Akibat Pandemi Covid-19
Alasan kedua terkait pada faktor kebudayaan, di mana sunat perempuan dianggap sebagai warisan budaya dan simbolisasi perempuan yang sudah beranjak dewasa.
Alasan ketiga, yakni berkaitan dengan kebersihan dan estetika.
Di beberapa daerah, alat kelamin bagian luar perempuan sering dianggap kotor dan jelek, sehingga praktik sunat perempuan dibutuhkan untuk menjaga kebersihan dan estetika di bagian intim tersebut.
Alasan keempat berhubungan dengan faktor sosioekonomi.
Ada beberapa kebudayaan yang menganggap sunat perempuan sebagai salah satu syarat pernikahan.
Faktor ekonomi yang kerap mendorong pernikahan di kalangan masyarakat akhirnya ikut melanggengkan praktik sunat perempuan.
Alasan kelima, tak lain menyangkut ajaran agama.
Di kalangan pemeluk agama Islam dan Kristiani, ada yang menganggap sunat perempuan sebagai bagian dari perintah agama.
Hingga kini, hal ini memang masih simpang siur.
Namun, dikutip dari UNFPA, pada hakikatnya, sunat perempuan bukanlah bagian dari ajaran agama manapun.
Lebih lanjut, WHO membantah alasan-alasan seperti kebersihan, estetika, dan psikoseksual yang banyak melandasi maraknya praktik sunat perempuan.
Menurut WHO, praktik mutilasi atau pemotongan bagian kelamin perempuan ini sama sekali tidak memiliki manfaat kesehatan apapun, termasuk bagi kesehatan seksual dan reproduksi perempuan.
Baca Juga: Organ Intim Bagian Dalam yang Perlu Dirawat Demi Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perempuan
Sejalan dengan WHO, CDC pun tegaskan jika sunat perempuan tidak mendatangkan manfaat kesehatan apapun.
Malahan praktik ini dapat menimbulkan masalah kesehatan jangka pendek dan jangka panjang menyangkut kesehatan obstetri, ginekologi, seksual, dan psikologis pada perempuan.
Karenanya, praktik sunat perempuan mendapat kecaman oleh banyak organisasi pemerintah dan non-pemerintah di seluruh dunia.
Termasuk diantaranya WHO, dan organisasi-organisasi di bawah PBB lainnya.
Sunat perempuan juga diakui secara internasional sebagai bentuk pelanggaran hak asasi manusia, khususnya pada perempuan.
Serta, sunat perempuan dianggap pula sebagai bentuk ekstrem dari diskriminasi gender.
(*)