Praktik ini juga dapat meninggalkan bekas luka, bahkan keloid di area intim perempuan.
Sunat perempuan berdampak pula pada komplikasi pada kehamilan dan persalinan.
Praktik ini disebutkan menyebabkan lamanya proses persalinan dan dibutuhkannya proses gunting vagina pada saat persalinan.
Sunat perempuan juga dikaitkan dengan risiko pendarahan pascapersalinan, serta kematian ibu dan janin.
Tak hanya sampai di sana, perempuan yang pernah menjalani sunat perempuan juga lebih berisiko terhadap kemungkinan membutuhkan operasi caesar saat persalinan, resusitasi bayi, lahir mati atau kematian neonatal, dan berat badan lahir rendah.
Pada kesehatan mental, sunat perempuan sendiri juga memberikan pengalaman traumatis pada perempuan.
Hal ini sebabkan berbagai gangguan psikosomatis seperti gangguan makan dan gangguan tidur.
Bahkan, praktik ini dapat pula menyebabkan posttraumatic stress disorder (PTSD), gangguan kecemasan, hingga depresi.
Baca Juga: Cari Tahu Perbedaan Grogi dan Gangguan Kecemasan pada Remaja
Walaupun begitu, praktik sunat perempuan masih marak saja dilakukan, bahkan untuk meminimalisir trauma pada perempuan, praktik sunat perempuan dilakukan sejak usia yang masih sangat dini.
Di Indonesia sendiri, UNICEF mencatat sebanyak 49% anak perempuan dibawah usia 12 tahun sudah menjalani praktik sunat perempuan.
Tentunya, praktik sunat perempuan yang dilakukan di usia sangat dini ini kebanyakan dilakukan tanpa persetujuan dari yang bersangkutan.
Oleh karena itu, tindakan ini termasuk bentuk pelanggaran terhadap hak-hak anak.
Dilansir dari WHO, praktik sunat perempuan pun tak bebas dari dampak kesehatan seksual.
Praktik pemotongan genital perempuan ini dapat merusak struktur anatomi yang terlibat langsung dalam fungsi seksual perempuan, karenanya hal ini juga dapat berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan seksual perempuan.