Parapuan.co - Sunat perempuan merupakan praktik yang dianggap oleh sebagian orang di seluruh penjuru dunia sebagai tindakan yang bermanfaat untuk kesehatan seksual dan reproduksi perempuan.
Sunat perempuan atau Female Genital Mutilation dianggap memberikan dampak positif pada kesehatan seksual dan reproduksi perempuan di berbagai negara yang masih melanggengkan praktik ini.
Berdasarkan paparan UNFPA, masih banyak masyarakat yang menganggap manfaat sunat perempuan pada kesehatan seksual dan reproduksi perempuan tersebut adalah untuk membersihkan area genital perempuan yang dianggap kotor atau tidak suci, serta kurang estetik.
Sunat perempuan pun dianggap bermanfaat dalam menekan gairah seksual perempuan yang tidak terbendung.
Namun, anggapan-anggapan terkait manfaat sunat perempuan yang diyakini di beberapa negara ini terbukti salah.
Pasalnya WHO ungkapkan jika tradisi sunat perempuan yang mengakar di masyarakat sama sekali tidak didasari oleh alasan medis, bahkan tidak memiliki manfaat apapun pada kesehatan perempuan.
Bahkan, praktik yang dilakukan dengan melukai bagian genital perempuan ini diakui secara internasional sebagai pelanggaran hak asasi manusia dan bentuk diskriminasi gender yang nyata.
Lebih lanjut, sunat perempuan juga melanggar hak seseorang atas kesehatan, keamanan dan integritas fisik, serta hak untuk bebas dari penyiksaan dan perlakuan kejam yang tidak manusiawi atau merendahkan martabat.
Sayangnya, WHO mencatat jika setidaknya ada 200 juta perempuan di dunia yang telah melalui prosesi sunat perempuan.
Bukan hanya tak mendatangkan manfaat kesehatan, sebaliknya, sunat perempuan justru berpotensi menimbulkan bahaya pada kesehatan, terutama kesehatan seksual dan reproduksi perempuan.
Berdasarkan sebuah studi tinjauan literatur, sejumlah studi telah menunjukkan sejumlah dampak negatif dari praktik sunat perempuan.
Baca Juga: Penggunaan Kondom Wanita untuk Jaga Kesehatan Seksual dan Reproduksi Perempuan
Dampak Sunat Perempuan pada Kesehatan
Secara fisik, dampak paling mendasar dari sunat perempuan tak lain adalah rasa sakit akibat tindakan pemotongan atau goresan pisau bedah atau benda tajam lainnya yang digunakan pada praktik sunat perempuan.
Praktik pemotongan bagian genital ini dapat menimbulkan pendarahan dan rasa nyeri yang kronis.
Sunat perempuan juga berisiko menimbulkan infeksi saluran kemih yang sebabkan perempuan mengalami kesulitan buang air kecil
Praktik ini juga dapat meninggalkan bekas luka, bahkan keloid di area intim perempuan.
Sunat perempuan berdampak pula pada komplikasi pada kehamilan dan persalinan.
Praktik ini disebutkan menyebabkan lamanya proses persalinan dan dibutuhkannya proses gunting vagina pada saat persalinan.
Sunat perempuan juga dikaitkan dengan risiko pendarahan pascapersalinan, serta kematian ibu dan janin.
Tak hanya sampai di sana, perempuan yang pernah menjalani sunat perempuan juga lebih berisiko terhadap kemungkinan membutuhkan operasi caesar saat persalinan, resusitasi bayi, lahir mati atau kematian neonatal, dan berat badan lahir rendah.
Pada kesehatan mental, sunat perempuan sendiri juga memberikan pengalaman traumatis pada perempuan.
Hal ini sebabkan berbagai gangguan psikosomatis seperti gangguan makan dan gangguan tidur.
Bahkan, praktik ini dapat pula menyebabkan posttraumatic stress disorder (PTSD), gangguan kecemasan, hingga depresi.
Baca Juga: Cari Tahu Perbedaan Grogi dan Gangguan Kecemasan pada Remaja
Walaupun begitu, praktik sunat perempuan masih marak saja dilakukan, bahkan untuk meminimalisir trauma pada perempuan, praktik sunat perempuan dilakukan sejak usia yang masih sangat dini.
Di Indonesia sendiri, UNICEF mencatat sebanyak 49% anak perempuan dibawah usia 12 tahun sudah menjalani praktik sunat perempuan.
Tentunya, praktik sunat perempuan yang dilakukan di usia sangat dini ini kebanyakan dilakukan tanpa persetujuan dari yang bersangkutan.
Oleh karena itu, tindakan ini termasuk bentuk pelanggaran terhadap hak-hak anak.
Dilansir dari WHO, praktik sunat perempuan pun tak bebas dari dampak kesehatan seksual.
Praktik pemotongan genital perempuan ini dapat merusak struktur anatomi yang terlibat langsung dalam fungsi seksual perempuan, karenanya hal ini juga dapat berdampak pada kesehatan dan kesejahteraan seksual perempuan.
Klitoris yang merupakan bagian yang terlibat dalam praktik sunat perempuan, pada dasarnya merupakan bagian genital perempuan yang paling sensitif.
Pemotongan atau tindakan lainnya yang menyebabkan luka, atau bahkan kerusakan pada klitoris, dapat memengaruhi sensitivitas dan menyebabkan penurunan hasrat dan kesenangan seksual, rasa sakit saat berhubungan seksual, kesulitan saat penetrasi, berkurangnya cairan vagina selama hubungan seksual, dan berkurangnya frekuensi untuk mencapai orgasme.
Dampak paling fatal dari praktik sunat perempuan adalah kematian, yang mungkin dapat terjadi akibat infeksi yang parah, pendarahan dalam jumlah besar, hingga infeksi tetanus.
Baca Juga: Waspada! Ini Faktor yang Mampu Picu Munculnya Infeksi Jamur pada Vagina
Bagaimana Regulasi Sunat Perempuan di Indonesia?
Praktik sunat perempuan telah mendapat kecaman dari WHO dan berbagai organisasi pemerintah dan non-pemerintah di seluruh dunia.
Mengutip data dari UNICEF, pada tahun 2006, Kementerian Kesehatan RI sempat mengeluarkan surat edaran yang melarang sunat perempuan untuk dilakukan oleh profesional medis.
Namun, dua tahun kemudian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa sunat perempuan adalah bagian dari ajaran agama Islam dan harus diberikan oleh profesional medis jika diminta oleh keluarga dan masyarakat.
Fatwa tersebut mengharuskan prosedur sunat perempuan dilakukan sesuai dengan syariah dan melarang praktik sunat berlebihan yang membahayakan perempuan baik secara fisik maupun psikologis.
Dikutip dari HukumOnline.com, kini sunat perempuan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/MENKES/PER/XII/2010 tentang Sunat Perempuan.
Namun, regulasi ini dianggap ambigu, sebab tidak ada aturan yang jelas terkait apakah praktik ini dilarang atau diperbolehkan, sehingga praktik sunat perempuan di Indonesia menjadi kontroversial dari segi medis, agama, maupun legalitas.
(*)