Klitoris yang merupakan bagian yang terlibat dalam praktik sunat perempuan, pada dasarnya merupakan bagian genital perempuan yang paling sensitif.
Pemotongan atau tindakan lainnya yang menyebabkan luka, atau bahkan kerusakan pada klitoris, dapat memengaruhi sensitivitas dan menyebabkan penurunan hasrat dan kesenangan seksual, rasa sakit saat berhubungan seksual, kesulitan saat penetrasi, berkurangnya cairan vagina selama hubungan seksual, dan berkurangnya frekuensi untuk mencapai orgasme.
Dampak paling fatal dari praktik sunat perempuan adalah kematian, yang mungkin dapat terjadi akibat infeksi yang parah, pendarahan dalam jumlah besar, hingga infeksi tetanus.
Baca Juga: Waspada! Ini Faktor yang Mampu Picu Munculnya Infeksi Jamur pada Vagina
Bagaimana Regulasi Sunat Perempuan di Indonesia?
Praktik sunat perempuan telah mendapat kecaman dari WHO dan berbagai organisasi pemerintah dan non-pemerintah di seluruh dunia.
Mengutip data dari UNICEF, pada tahun 2006, Kementerian Kesehatan RI sempat mengeluarkan surat edaran yang melarang sunat perempuan untuk dilakukan oleh profesional medis.
Namun, dua tahun kemudian, Majelis Ulama Indonesia (MUI) mengeluarkan fatwa bahwa sunat perempuan adalah bagian dari ajaran agama Islam dan harus diberikan oleh profesional medis jika diminta oleh keluarga dan masyarakat.
Fatwa tersebut mengharuskan prosedur sunat perempuan dilakukan sesuai dengan syariah dan melarang praktik sunat berlebihan yang membahayakan perempuan baik secara fisik maupun psikologis.
Dikutip dari HukumOnline.com, kini sunat perempuan diatur dalam Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 6 Tahun 2014 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1636/MENKES/PER/XII/2010 tentang Sunat Perempuan.
Namun, regulasi ini dianggap ambigu, sebab tidak ada aturan yang jelas terkait apakah praktik ini dilarang atau diperbolehkan, sehingga praktik sunat perempuan di Indonesia menjadi kontroversial dari segi medis, agama, maupun legalitas.
(*)