Parapuan.co - Pihak yang paling dirugikan dalam kasus kekerasan terhadap perempuan adalah korban.
Tak hanya mempengaruhi kondisi kesehatan mentalnya, namun faktanya kekerasan terhadap perempuan juga memberikan efek kesehatan yang tersembunyi.
Mirisnya, gejala secara fisik dan emosional ini dapat dirasakan korban kekerasan terhadap perempuan selama bertahun-tahun pasca kejadian.
Melansir dari laman NBCnews, psikolog klinis, ColleeN Cullen menyampaikan bahwa kebanyakan korban kekerasan dan pelecehan seksual didiagnosis mengalamai depresi, kecemasan, hingga post traumatic syndrome disorder (PTSD).
"Pengalaman buruk tersebut dapat memicu gejala depresi dan kecemasan yang baru bagi korban, bahkan dapat memperburuk kondisi sebelumnya yang mungkin sebelumnya dapat dikendalikan," ujarnya.
Menurutnya, bahkan kondisi depresi ini dapat terjadi dalam jangka panjang bagi korban yang mengalami pelecehan di awal kariernya.
Untuk gejala PTSD ini dapat ditunjukkan oleh korban, terutama jika pelecehan yang dialaminya mengarah pada kekerasan atau penyerangan.
“Di antara wanita yang mengalami serangan seksual, 90 persen yang mengalami kekerasan seksual dan setelahnya menunjukkan gejala stres akut,” kata Dr. Helen Wilson, psikolog klinis berlisensi dengan keahlian tentang efek trauma.
Baca Juga: Kekerasan pada Anak: Mengapa Orang Tua Tega Menyakiti Anaknya Sendiri?
Kendati demikian, menurut dr. Wilson gejala-gejala tersebut perlahan menghilang seiring waktu dengan adanya dukungan sosial dan strategi penanganannya.
Berhasilnya proses pemulihan ini pun membuat korban kekerasan terhadap perempuan dapat kembali melanjutkan hidupnya.
Baca Juga: Kekerasan pada Perempuan dan Anak, Kenali Jenis dan Cara Melaporkannya
Reaksi tubuh
Selain mempengaruhi kondisi mental, kekerasan terhadap perempuan juga berdampak pada kondisi tubuh dalam jangka panjang.
"Pelecehan seksual yang dialami perempuan tercatat sebagai trauma dan sulit bagi pasien untuk menghadapinya, kondisi tersebut sebenarnya juga membuat tubuh mulai kewalahan," ujar psikolog dr. Nakeshia Hammond.
Pada kondisi ini para ahli menyebutnya somatisasi yakni kesehatan mental bergejolak luar biasa hingga seseorang tidak dapat memprosesnya sampai mengatakan "saya telah trauma' atau 'saya depresi'.
"Kondisi ini semacam penyangkalan, yang apabila terjadi dalam waktu lama, maka akan menimbulkan gejala fisik," lengkap dr. Hammond.
Gejala fisik yang dialami dirasakan secara perlahan mulai dari nyeri otot, sakit kepala, atau bahkan masalah kesehatan kronis seperti tekanan darah tinggi dan masalah gula darah.
"Dalam jangka panjang, itu bisa menyebabkan masalah jantung," kata Hammond.
Menurut dr. Hammond hal ini wajar terjadi, bahkan pasien yang memiliki kesadaran penuh dan menyadari mereka cemas dan depresi juga dapat mengalami masalah ini.
dr. Wilson menambahkan, kondisi ini terjadi karena otak dan tubuh saling berhubungan erat.
"Otak adalah bagian tubuh yang mengontrol emosi, termasuk stres, khususnya pada bagian batang otak yang berhubungan dengan fungsi tak sadar seperti detak jantung dan pernapasan," tutur Wilson.
Kemudian, hal yang menjadi sumber stres ini mempengaruhi fungsi kardiovaskular, penyakit autoimun, fungsi metabolisme, dan sebagainya.
Sementara kebanyakan orang berpikir stres berada di kepala kita dan otak dianggap sebagai organ lain, padahal semuanya telah terhubung.
"Neurotransmiter yang ditemukan di otak kita juga ditemukan pada usus, karenanya kita cenderung sakit saat mengalami stres, dan jika terus menerus terjadi maka akan timbul konsekuensi fisiologis," imbuhnya.
Baca Juga: Perempuan Karier Alami Kekerasan Seksual di Kantor? Lakukan Hal Ini
(*)