Parapuan.co- SBN Ritel atau yang dikenal dengan Surat Berharga Negara, merupakan salah satu instrumen investasi selain reksa dana, forex, dan emas.
Instrumen investasi ini banyak dipakai semenjak pandemi datang.
Dilansir dari bareksa.com, Surat Berharga Negara (SBN) sendiri adalah surat berharga yang diterbitkan oleh pemerintah untuk mencari pembiayaan anggaran.
SBN tidak hanya bisa dibeli oleh pemodal (investor) besar dan institusi, tetapi juga untuk individu atau perseorangan.
SBN yang khusus untuk perseorangan ini disebut sebagai SBN Ritel dan bisa dibeli di berbagai platform investasi online dengan minimal pembelian Rp 1.000.000,00.
Baca juga: Mengenal Sukuk, Produk Investasi Syariah dan Bedanya dengan Obligasi
SBN Ritel yang biasanya di tawarkan di penawaran umum berupa Obligasi Negara Ritel (ORI), Savings Bond Ritel (SBR), Sukuk Tabungan (ST), dan Sukuk Ritel (SR).
Sepanjang tahun ini, pemerintah telah menerbitkan Obligasi Negara Ritel (ORI) seri ORI019 pada Januari - Februari, Sukuk Negara Ritel (SR) seri SR014 pada Februari - Maret 2021, Savings Bond Ritel (SBR) seri SBR010 pada Juni-Juli 2021, dan Sukuk Negara Ritel (SR) seri SR015 pada Agustus-September 2021.
Selain itu, pemerintah akan menerbitkan ORI020 yang dijadwalkan pada 27 September dan Sukuk Tabungan (ST) seri ST008 pada November mendatang.
Masih dilansir dari sumber yang sama, SBN Ritel dibagi menjadi dua yaitu Surat Utang Negara (SUN) yang dikelola secara konvensional dan Surat Berharga Syariah Negara (SBSN) yang menggunakan prinsip Syariah.
Jenis SUN ritel sendiri terdiri dari dua surat, yaitu ORI dan SBR, sedangkan SBSN terdiri dari SR dan ST.
Dilansir dari website resmi Kementerian Keuangan, ORI dengan SR hanya berbeda pada prinsip pengelolaannya.
ORI merupakan jenis investasi konvensional dan SR adalah investasi jenis syariah.
Sedangkan karakter lain antara ORI dan SR seperti tenor, kupon, perdagangan di pasar sekunder, potensi capital gain semuanya sama.
Dilansir dari Bareksa.com, berikut perbedaan ORI dengan SBR dan ST terletak pada tenor, kupon (bunga), perdagangan di pasar sekunder, dan potensi capital gain:
1. Potensi Capital Gain
ORI dan SR yang bisa diperdagangkan di pasar sekunder, harganya bisa naik dan turun tergantung permintaan di pasar.
Misalnya, ketika investor membeli Rp1 juta, dia bisa menjual kembali seharga Rp1,3 juta dengan mempertimbangkan besaran kupon yang didapat.
Sedangkan SBR dan ST tidak memiliki potensi kenaikan harga (capital gain).
Jika investor membeli Rp1 juta, maka pada saat jatuh tempo dia akan menerima pembayaran pokok Rp1 juta.
Baca juga: Mau Investasi Obligasi? Ini Jenis-Jenis Obligasi yang Perlu Diketahui
2. Ada label halal
ORI dan SBR dikelola dengan sistem konvensional karena merupakan pernyataan surat utang negara.
Sehingga ORI dan SBR, tidak mendapat pernyataan halal (syariah) dari Dewan Syariah Nasional Majelis Ulama Indonesia (DSN-MUI).
Sedangkan ST dan SR adalah bukti penyertaan aset negara dan bukan surat utang negara seperti ORI dan SBR.
Hal itu membuat ST dijamin halal sesuai syariah karena sudah mendapatkan fatwa halal dari DSN-MUI.
3. Tenor
ORI dan SR memiliki jangka waktu tiga tahun, tetapi bisa dijual sebelum jatuh tempo dan diperdagangkan di pasar sekunder.
Berbeda dengan SBR dan ST yang memiliki tenor hanya dua tahun.
Meski jangka waktu lebih pendek daripada ORI dan SR, tetapi SBR dan ST tidak bisa diperjualbelikan di pasar sekunder.
4. Kupon
Kupon ORI dan SR tetap hingga jatuh tempo.
Bila ada kenaikan atau penurunan suku bunga, kupon ORI tidak akan menyesuaikan.
Kondisi ini berbeda dengan SBR dan ST yang memiliki kupon bersifat floating with floor atau mengambang dengan batas minimal.
Kupon atau imbal hasil SBR dan ST bisa naik bila suku bunga acuan naik, tetapi tidak bisa turun lebih rendah daripada batas minimal.
Baca juga: 3 Risiko yang Perlu Diperhatikan Sebelum Investasi Berupa Obligasi
5. Perdagangan di pasar sekunder
ORI dan SR yang diterbitkan di pasar perdana dan bisa dijual kembali sebelum jatuh tempo atau bisa diperdagangkan di pasar sekunder.
Perdagangan di pasar sekunder dibuka setelah minimum holding period selesai, yakni dua kali pembayaran kupon.
Sementara SBR dan ST tidak bisa diperdagangkankan di pasar sekunder, sehingga investor harus memegang hingga jatuh tempo.
Meski begitu, ada fasilitas early redemption setelah 1 tahun investasi dengan syarat minimal kepemilikan awal Rp2 juta dalam 1 transaksi dan maksimal yang bisa dicairkan awal 50 persen.
Nah, Kawan Puan, apakah kalian tertarik untuk melakukan investasi dalam bentuk SBN Ritel?
Tulis tanggapan Kawan Puan di kolom komentar ya! (*)