Talita bahkan mengibaratkan Beau Bakery seperti sebuah kelompok musik.
Ia mengibaratkan dirinya adalah konduktor, sementara chef maupun karyawannya yang lain berperan sebagai pemusiknya.
“Bagiku, musik dan patiseri itu nyambung. Keduanya butuh ekspresi dan cinta dalam berkreasi. Kalau enggak pakai cinta, rasanya enggak akan bagus. Dalam musik, karya kita
itu akan didengar orang lain, dia bisa terharu dengan musik yang kita buat. Begitu juga
orang yang akan makan makanan kita, bisa merasakan dedikasi pembuatnya begitu tinggi
misalnya,” jelas perempun yang kini berusia 32 tahun itu.
Baca juga: Sosok Putri Kusuma Wardani, Debut di Piala Sudirman di Usia 19 Tahun
Munculnya keinginan menjadi chef
Saat krisis 1998 terjadi di Indonesia, Talita yang masih berusia 9 tahun, pindah ke New Zealand bersama keluarganya.
Di sana ia kerap memakan roti. Pasalnya roti adalah makanan pokok negara tersebut.
Bagi Talita, semua roti yang pernah dicobanya sangat enak-enak.
Selain itu, Talita juga suka menonton tayangan Masterchef yang mendunia.
Akhirnya ia banting setir dan memilih untuk belajar langsung bagaimana cara membuat roti di Le Cordon Bleu, Paris, Prancis.
Ia kemudian bertemu Ian Chin dan membangun Beau Bakery.
"Aku akui, aku seperti pesulap yang ingin belajar trik dari sebuah sulap. Saat itu aku begitu mengagumi makanan, kok bisa ya jadi seenak dan bentuknya seperti itu,” cerita perempuan yang kini juga pengajar meditasi.
Talita bahkan memperdalam ilmunya dalam membuat roti hingga ke berbagai tempat, salah satunya ke New York, Amerika Serikat.