Parapuan.co - Setiap tanggal 10 Oktober, kita bersama-sama merayakan Hari Kesehatan Mental Sedunia.
Kesehatan mental tentunya adalah topik yang penting untuk menjadi sorotan bagi seluruh masyarakat global.
Namun, kerap kali masyarakat di Indonesia mengabaikan pentingnya menjaga kesehatan mental dan dampak yang terjadi bila seseorang mentalnya terganggu.
Media seperti lagu, serial televisi, dan film, memiliki peran penting untuk menggaungkan pesan pentingnya kesehatan mental ini.
Salah satu film yang berpusat pada gangguan kesehatan mental pasca kejadian traumatis adalah 27 Steps of May karya Ravi Bharwani yang baru saja rilis di Netflix.
Penting untuk Kawan Puan ketahui, dalam ulasan PARAPUAN kali ini, banyak topik terkait trauma kekerasan seksual dan tindakan bunuh diri yang akan dibahas.
Film yang tayang di bioskop pada tahun 2019 ini dimulai oleh May, (Raihanuun) yang saat itu masih duduk di bangku SMP mengalami pemerkosaan oleh sekelompok laki-laki di gang.
Baca Juga: Film Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak: Simbol Perjuangan Perempuan Demi Kebebasan
Pulang dengan seragan compang-camping dan terluka, May melanjutkan hidup dalam trauma dan beban mental yang berat.
Selama delapan tahun, May memutuskan untuk mengisolasi diri dalam ruang sempit, remang, dan tidak ada warna lain selain putih.
Sang Bapak (Lukman Sardi) hidup dalam rasa bersalah dan terus-menerus menyalahkan dirinya sendiri.
Ruang tinju menjadi ruang pelampiasan emosi dari Bapak, yang merasa gagal melindungi anak perempuan satu-satunya.
27 Steps of May adalah gambaran nyata trauma dan sakit secara mental yang dialami oleh perempuan penyintas kekerasan seksual.
Secara detail, Ravi Bharwani sebagai sutradara memberikan pernyataan visual mengenai bentuk beban mental yang dirasakan May sehari-hari.
"Karena rutinitas itulah maka dia bisa bertahan," bunyi dialog Bapak.
Secara visual, May digambarkan hidup dalam rutinitas yang monoton, tidak ada yang berubah setiap harinya dari hidup May.
May bangun, kemudian menyetrika baju hingga licin tak ada lipatan, menata rambutnya kemudian menjepitnya.
Baca Juga: Film Moxie: Arti Gerakan Women Support Women Sesungguhnya dalam Perjuangan Melawan Sistem Patriarki
Ia kemudian menghitung puluhan boneka dalam rak dan mengerjakan pesanan boneka berdua dengan Bapak.
May hanya ingin menyantap hidangan yang sama dan melakukan olahraga lompat tali dengan pakaian tertutup.
Kawan Puan mungkin akan bosan di awal-awal film karena rutinitas ini tidak ada hentinya. Namun, itulah yang membuat May bertahan hidup.
PARAPUAN menyoroti simbol warna yang hadir dalam film ini, kusam dan monoton seperti berbicara tentang kehambaran dan tidak adanya harapan.
Itulah hidup May dengan gangguan kesehatan mental dan ketakutan akan hal-hal kecil yang memantik traumanya.
Sampai pada pertengahan film, satu per satu rutinitas May berubah karena kehadiran tetangga yang adalah seorang pesulap.
Lewat lubang kecil di tembok kamar, sang pesulap membuat May berani melihat dunia lebih berwarna.
Mulai dari sini, film 27 Steps of May menunjukkan gambaran frontal bagaimana trauma yang terpantik dapat melukai seorang penyintas.
Sebagai film yang ditujukan untuk mengungkapkan cerita penyintas, menonton film ini sendiri dapat memantik atau bahkan melahirkan trauma kepada penonton.
Perubahan yang ada di hidup May, perasaan yang mulai tumbuh kepada pesulap, dan ketidakmampuan secara ekonomi untuk berobat membuat gejolak psikologis yang mengerikan.
Baca Juga: Film I, Tonya: Saat Bakat dan Ambisi Tak Cukup untuk Bawa Atlet Tonya Harding ke Olimpiade
Secara gamblang, kesakitan yang May rasakan dikeluarkan lewat tindakan percobaan bunuh diri yang nyata.
Akses pendampingan dan kurangnya layanan kesehatan mental bagi penyintas kekerasan seksual juga menjadi poin penting yang bisa PARAPUAN temukan dalam film ini.
Mengobati trauma dan gangguan kesehatan mental membutuhkan terapi yang dilakukan terus menerus.
Proses tersebut tentu membutuhkan biaya tidak sedikit, apa lagi bila dilakukan dengan psikolog dari lembaga profesional.
Tokoh Bapak yang hanya bekerja sebagai petinju amatir dan penjual boneka tidak bisa memenuhi pengobatan yang May butuhkan.
Kejamnya penderitaan May akibat gangguan kesehatan mental yang tak terobati sayangnya adalah gambaran realita kondisi para penyintas kekerasan seksual di Indonesia.
Hampir setiap hari, berita dan isu kekerasan seksual di Indonesia terdengar, dan banyak penyintas yang tidak memiliki previlege masih harus menghadapi trauma setiap harinya seperti karakter May.
Baca Juga: Film Dua Garis Biru: Melihat Pentingnya Keterbukaan dalam Keluarga bagi Anak Remaja
Belajar dari film 27 Steps of May, hal paling sederhana yang dapat kita lakukan adalah membantu para penyintas dengan pendampingan sebagai teman atau kerabat.
Setiap hari adalah perjuangan yang berat bagi kondisi mental para penyintas kekerasan seksual, kehadiran dan dukungan orang-orang di sekelilingnya akan sangat membantu pemulihan secara perlahan.
(*)