Ayahanya dituduh telah menyabotase pacuan kuda di Tegallega, Bandung, untuk mencelakai seorang bupati.
Dewi Sartika kemudian tinggal bersama pamannya, Patih Cicalengka yang bernama Raden Demang Suria Kartahadiningrat.
Di sana, ia mendapat perlakuan berbeda di mana perempuan diberi banyak pekerjaan rumah dan menempati kamar belakang layaknya para pelayan.
Perlakuan tersebut diterimanya lantaran ia dianggap membawa aib bagi keluarga akibat tindakan sang ayah.
Baca Juga: Profil Kristy Nelwan, Head of Communication Unilever Indonesia
Pemikiran Dewi Sartika
Ketika Dewi Sartika menginjak remaja, ia menyaksikan bagaimana kedudukan perempuan dalam masyarakat Sunda mengalami kemunduran.
Perempuan Sunda kala itu dianggap lebih lemah dibanding laki-laki, dikekang dengan perkawinan paksa, dan sebagainya.
Bahkan, hal yang lebih buruk dialami perempuan yang sudah menikah, di mana mereka hanya jadi lambang status seorang laki-laki.
Dari situlah tekad kuat Dewi Sartika untuk membuat perubahan muncul. Ia pun punya keinginan mendirikan sekolah khusus untuk perempuan.
Pada 1902, Dewi menemui Bupati Martanegara di Bandung dan meminta izin untuk mendirikan sekolah bagi gadis remaja.
Bupati memberikan restu, bahkan menyarankan supaya sekolah tersebut dibuka di Pendopo Kabupaten Bandung.