Parapuan.co - Pahlawan pejuang pendidikan bagi perempuan di Indonesia tidak hanya RA Kartini, tetapi ada nama Dewi Sartika.
Dewi Sartika merupakan tokoh perintis pendidikan perempuan yang diakui sebagai pahlawan nasional oleh pemerintah pada tahun 1966.
Sosok Dewi Sartika sendiri terlahir dari keluarga ternama di tanah Sunda, tepatnya di Cicalengka pada 4 Desember 1884.
Semasa kecil, ia sudah menerima pendidikan sesuai dengan budaya Sunda dari sang paman.
Akan tetapi, sebelumnya Dewi Sartika sendiri sudah pernah mendapatkan pengetahuan mengenai budaya Barat.
Lantas, bagaimana kemudian ia menjadi sosok penting bagi pendidikan perempuan di tanah air?
Baca Juga: Profil Siti Soraya Cassandra, Pekerja Kantoran yang Resign untuk Berkebun
Simak keterangan seputar perjuangan Dewi Sartika di bawah ini sebagaimana dikutip dari Kompas.com!
Biografi Dewi Sartika saat Muda
Lantaran merupakan keluarga priyayi pada zamannya, Dewi Sartika berkesempatan mengenyam pendidikan.
Ia tercatat pernah bersekolah di Eerste Klasse School atau Sekolah Kelas Satu untuk penduduk non-Eropa sampai di bangku kelas dua.
Sayang, pendidikan Barat yang lebih maju kala itu tidak lama dijalaninya lantaran sang ayah diasingkan ke Ternate oleh pemerintah Kolonial.
Ayahanya dituduh telah menyabotase pacuan kuda di Tegallega, Bandung, untuk mencelakai seorang bupati.
Dewi Sartika kemudian tinggal bersama pamannya, Patih Cicalengka yang bernama Raden Demang Suria Kartahadiningrat.
Di sana, ia mendapat perlakuan berbeda di mana perempuan diberi banyak pekerjaan rumah dan menempati kamar belakang layaknya para pelayan.
Perlakuan tersebut diterimanya lantaran ia dianggap membawa aib bagi keluarga akibat tindakan sang ayah.
Baca Juga: Profil Kristy Nelwan, Head of Communication Unilever Indonesia
Pemikiran Dewi Sartika
Ketika Dewi Sartika menginjak remaja, ia menyaksikan bagaimana kedudukan perempuan dalam masyarakat Sunda mengalami kemunduran.
Perempuan Sunda kala itu dianggap lebih lemah dibanding laki-laki, dikekang dengan perkawinan paksa, dan sebagainya.
Bahkan, hal yang lebih buruk dialami perempuan yang sudah menikah, di mana mereka hanya jadi lambang status seorang laki-laki.
Dari situlah tekad kuat Dewi Sartika untuk membuat perubahan muncul. Ia pun punya keinginan mendirikan sekolah khusus untuk perempuan.
Pada 1902, Dewi menemui Bupati Martanegara di Bandung dan meminta izin untuk mendirikan sekolah bagi gadis remaja.
Bupati memberikan restu, bahkan menyarankan supaya sekolah tersebut dibuka di Pendopo Kabupaten Bandung.
Alhasil di tahun 1904, tepatnya pada tanggal 16 Januari, Sakola Istri pun resmi berdiri.
Beberapa tahun kemudian pada 1910, sekolah direlokasi dan berubah nama menjadi Sekolah Kaoetamaan Isteri.
Di sana, Dewi Sartika mengajarkan perempuan membaca, menulis, berhitung, memberikan pengetahuan tentang agama, dan berbagai jenis keterampilan.
Hingga 1912, setidaknya sudah ada sembilan sekolah yang tersebar di Jawa Barat.
Baca Juga: Profil Sarah Gamal, Wasit Berhijab Pertama di Cabor Basket Olimpiade Tokyo 2020
Akhir Hayat
Pasca kemerdekaan, kesehatan Dewi Sartika menurun hingga ia akhirnya meninggal dunia pada 11 September 1947 di Cineam.
Untuk mengenang jasanya yang sudah memperjuangkan pendidikan, ia dianugerahi gelar Orde van Oranje-Nassau pada ulang tahun ke-35 Sekolah Kaoetamaan Isteri (Sakola Istri).
Bukan itu saja, namanya pun dijadikan sebagai nama jalan di tempat sekolahnya. Pada 1 Desember 1966, Dewi Sartika diakui sebagai Pahlawan Nasional.
Nah, itulah tadi kisah perjalanan Dewi Sartika memperjuangkan pendidikan bagi sesamanya, terutama di wilayah Jawa Barat.
Mudah-mudahan Kawan Puan bisa melanjutkan perjuangan itu dengan memperjuangkan mimpimu, ya. (*)