Parapuan.co - Perwakilan Kantor Layanan Hukum Universitas Brawijaya (KLH UB) memberikan tanggapan atas kasus meninggalnya NWR, mahasiswi kampus tersebut.
Perwakilan KLH UB itu mendesak serta mendorong pengesahan Rancangan Undang Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (RUU TPKS), sebagai tanggapan atas kasus NWR.
"Sebenarnya saya lebih cenderung mendorong dan mendesak draft RUU Pemberantasan Tindak Pidana Kekerasan Seksual yang diusulkan oleh Komnas Perempuan," kata Dr. Lucky Endrawati, SH., MH dari Kantor Layanan Hukum (KLH UB) saat dihubungi PARAPUAN, Minggu, (5/12/2021).
Pasalnya, ia menganggap bahwa payung hukum yang selama ini sudah ada di Indonesia belum maksimal dalam melindungi korban kekerasan seksual.
Baca Juga: Kawal Kasus Wafatnya NWR, LBH Surabaya Pos Malang Upayakan Komunikasi dengan Keluarga Korban
Alhasil, banyak korban kekerasan seksual yang memilih bungkam, menyerah, atau memutuskan mengakhiri hidup sebab tidak adanya jaminan rasa aman yang mereka rasakan.
Di samping itu, Indonesia sampai dengan saat ini masih menggunakan aturan yang generalis atau umum ketika menangani masalah kekerasan seksual.
Adapun aturan generalis yang dimaksud adalah Kitab Hukum Undang Undang Pidana (KUHP).
"Selama peraturan yang bersifat spesialis belum disahkan maka rujukannya ke aturan yang bersifat generalis yakni KUHP," ujar Lucky.
Lucky mengatakan bahwa kasus tindak pidana kekerasan seksual butuh payung hukum yang lebih khusus demi melindungi dan membantu korban.
Sayangnya, sampai dengan sekarang undang-undang yang digunakan untuk menyelesaikan masalah tindak kekerasan seksual adalah aturan yang generalis.
Belum lagi adanya pasal karet dalam KUHP yang belum maksimal dalam menyelesaikan masalah kekerasan seksual.
Pasal-pasal dalam KUHP yang selama ini digunakan untuk kasus kekerasan seksual masih terlalu umum sehingga ada hak-hak korban yang tidak terpenuhi.
"Di KUHP ada pasal karet untuk kesusilaan di Pasal 281 ayat ke-2 KUHP," terangnya.
Menurut Lucky, istilah "pasal karet" yang ia sematkan dalam peraturan tersebut adalah karena pasal tersebut masih sangat generalis.
Pasal yang disebutkan Lucky masih sangat umum untuk menyelesaikan kasus tindak pidana kekerasan seksual.
Menurutnya, pasal tersebut seolah jadi formalitas belaka agar tidak terjadi kekosongan norma.
"Ini saya yang mengistilahkan sendiri karena bisa menjadi pasal sapu jagat untuk perbuatan yang melanggar kesusilaan selama tidak ada aturan khususnya agar tidak terjadi kekosongan norma," jelasnya.
Perempuan itu pun pada akhirnya mendorong serta mendesak pengesahan RUU TPKS demi bisa melindungi korban kekerasan seksual.
"Oleh karenanya RUU TPKS sangat mendesak untuk disahkan," katanya dengan tegas.
Baca Juga: Mahasiswi Mojokerto Ditemukan Tewas Dekat Makam Ayahnya, Diduga Korban Kekerasan Seksual
Pentingnya pengesahan RUU TPKS
Bukan tanpa alasan Lucky mendesak pengesahan RUU TPKS sebagai payung hukum untuk tindak pidana kekerasan seksual.
RUU TPKS yang diusulkan oleh Komnas Perempuan ini memang dinilai lebih bisa memenuhi hak-hak korban kekerasan seksual.
Di dalam draft RUU TPKS itu disebutkan apa saja jenis tindak kekerasan seksual dan pasal-pasal terkait perlindungan.
Lalu disebutkan pula tanggung jawab negara serta peran serta masyarakat dalam hal menangani kasus kekerasan seksual.
"Dimana di dalamnya mengatur sembilan jenis kekerasan seksual dan pasal-pasal terkait perlindungan dan tanggung jawab negara serta peran serta masyarakat dinormakan secara detail," jelasnya lebih lanjut.
Dengan begitu, upaya untuk menangani kasus kekerasan seksual lebih sistematis dan akomodatif untuk memenuhi hak-hak korban.
"Dengan merujuk pada dinamika kasus-kasus kekerasan seksual dari aspek kualitas dan kuantitas, kekosongan norma serta keterbatasan kemampuan penyidik dalam memaknai pasal-pasal KUHP, maka sangat mendesak pengesahan RUU PTPKS," tegasnya.
Baca Juga: Pacar Mahasiswi yang Meninggal di Mojokerto Resmi Jadi Tersangka Tindak Pidana Aborsi
(*)