Parapuan.co - Kasus Novia Widyasari, mahasiswi asal Mojokerto yang bunuh diri di samping makam ayahnya masih viral hingga saat ini.
Di Twitter, kasus Novia Widyasari bahkan menjadi Trending Topic dan memunculkan tagar #SAVENOVIAWIDYASARI.
Novia diketahui bunuh diri setelah sebelumnya dipaksa untuk menggugurkan kandungan sebanyak dua kali oleh mantan kekasihnya yang berprofesi seorang Polisi, Randy Bagus Hari Sasongko.
Baca Juga: Viral! Ibu Kandung NWR Minta Maaf dan Harap Kasus Tidak Dibesar-Besarkan
Sebelumnya, seorang warganet yang mengaku dekat dengan Novia menuliskan bahwa Novia hamil karena diduga diperkosa oleh Randy.
Disebutkan Novia pernah diajak oleh Randy ke penginapannya.
Karena hal ini, banyak pihak yang meminta Polisi untuk mengusut kasus perkosaan yang dilakukan Randy.
Berbicara mengenai perkosaan, seperti apa definisinya menurut pandangan hukum?
Perkosaan diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) oleh Pasal 285 KUHP.
Pasal tersebut berbunyi barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang wanita bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
Ahli Pidana Universitas Brawijaya Malang Dr. Lucky Endrawati S.H., M.H. pun menjelaskan tentang pasal ini.
Dalam Pasal 285 KUHP, terdapat kata dan frasa dengan kekerasan/dengan ancaman kekerasan, memaksa, seorang wanita, di luar perkawinan, juga dengan dirinya.
1. Kekerasan/ Ancaman Kekerasan
Lucky menjelaskan bahwa KUHP tidak memberi definisi dari kata 'kekerasan'.
Dalam Pasal 89 KUHP hanya dikatakan bahwa dipersamakan dengan melakukan kekerasan, yaitu perbuatan membuat dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
"Dengan demikian, yang ditentukan dalam pasal 89 KUHP adalah perluasan dari pengertian melakukan kekerasan," terang Lucky saat dihubungi PARAPUAN pada Senin (6/12/2021).
Baca Juga: Ramai Kasus NWR, Ahli Pidana Sebut UU Perkosaan Masih Merugikan Korban
Hal ini termasuk dalam pengertian dengan kekerasan pada pasal 285 KUHP.
Dalam pasal tersebut, kekerasan adalah membuat seseorang dalam keadaan pingsan atau tidak berdaya.
"Pingsan atau tidak berdaya itu adalah akibat dari perbuatan yang dilakukan oleh si pelaku," paparnya.
Jika pelaku membubuhkan obat tidur dengan kadar tinggi ke dalam minuman hingga yang bersangkutan tidak sadarkan diri pun termasuk dalam kekerasan.
Karena tidak adanya definisi jelas mengenai apa itu kekerasan pada KUHP, penulis hukum pidana mengacu pada buku karya S.R Sianturi.
Yang dimaksud dengan kekerasan menurut S.R Sianturi adalah setiap perbuatan dengan menggunakan tenaga terhadap orang atau barang yang dapat mendatangkan kerugian bagi si terancam atau mengagetkan yang dikerasi.
Beberapa contoh tentang kekerasan pun dikemukakan.
Contoh ini tertuang pada Putusan Pengadilan Negeri Poso No.27/Pid/1971 tanggal 11 Nopember 71 (Vide Law Report 1973 hal.50), antara lain ialah menarik sembari meluncurkan celana wanita, kemudian wanita tersebut dibanting ke tanah, tangannya dipegang kuat-kuat, dagunya ditekan lalu didimasukkan kemaluan si pria tersebut.
Mengenai ancaman kekerasan, S.R. Sianturi menulis yang dimaksud dengan ancaman kekerasan adalah membuat seseorang yang diancam itu ketakutan karena ada sesuatu yang akan merugikan dirinya dengan kekerasan.
Berdasarkan buku karya Prof. Simons, yang dimaksudkan dengan kekerasan adalah setiap penggunaan tenaga badan yang tidak terlalu berarti atau setiap pemakaian tenaga badan yang tidak terlalu ringan.
Sementara itu, penjelasan mengenai ancaman kekerasan tidak tertuang penjelasan tentang ancaman kekerasan tidak tertuang dalam arrest-arrest dari Hoge Raad dan hanya menjelaskan tentang caranya ancaman harus diucapkan.
2. Memaksa
Mengacu kepada buku S.R. Sianturi, yang dimaksud memaksa adalah tindakan yang memojokkan seseorang hingga tiada pilihan lain selain mengikuti kehendak si pemaksa.
Dengan perkataan lain tanpa tindakan sipemaksa itu siterpaksa tidak akan melakukan atau melalaikan sesuatu sesuai dengan kehendak sipemaksa.
"Dalam hal ini tidak diharuskan bagi siterpaksa untuk mengambil risiko yang sangat merugikannya, misalnya lebih baik mati atau luka-luka/kesakitan dari pada mengikuti kehendak si pemaksa," kata Lucky.
Dalam hal ini, keadaan harus dinilai berdasarkan kasusnya, Kawan Puan.
Menurut Lucky, memaksa berarti melakukan sesuatu terhadap seseorang yang bertentangan dengan kehendak tersebut.
"Hal memaksa ini pada dasarnya dibarengi dengan kekerasan atau ancaman kekerasan," kata Lucky.
Baca Juga: Komnas Perempuan Akui NWR Pernah Melapor Kekerasan Seksual yang Dialami
3. Seorang Wanita
Dalam Pasal 285 KUHP, korban dalam pemerkosaan haruslah seorang perempuan.
"Tidak menjadi soal berapakah usia dari perempuan tersebut. Perempuan itu mungkin masih anak-anak ataupun mungkin sebaliknya sudah berusia amat lanjut," kata Lucky.
Kata ini juga mengharuskan bahwa pelaku tindak pidana perkosaan haruslah seorang laki-laki.
"Karena hanya laki-laki yang dapat melakukan persetubuhan dengan seorang perempuan," jelasnya.
4. Di Luar Perkawinan
Perkawinan diatur alam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 174 tentang Perkawinan dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan UU No. 1 Tahun 1974.
Dalam Pasal 2 ayat (1) undang-undang ini ditentukan bahwa perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut ketentuan masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu.
Tentang hubungan kelamin, Lucky mengatakan bahwa hubungan kelamin dilihat dari bagaimana penis masuk ke dalam vagina perempuan.
Dalam hal ini, hubungan kelamin yang tidak sesuai dengan UU No. 1 Tahun 1974 adalah hubungan di luar perkawinan.
Baca Juga: Tanggapan Perwakilan Kantor Layanan Hukum Unibraw atas Meninggalnya NWR
5. Dengan Dirinya
Dalam frasa ini, tidak dibahas mengenai persyaratan keharusan unsur kesengajaan.
"Tetapi dengan dicantumkannya unsur memaksa di dalam rumusan ketentuan pidana yang diatur dalam Pasal 285 KUHP, kiranya sudah jelas bahwa tindak pidana perkosaan seperti yang dimaksudkan dalam Pasal 285 KUHP itu harus dilakukan dengan sengaja," kata Lucky.
Nantinya, unsur kesengajaan tersebut harus dibuktikan, baik oleh penuntut umum maupun Hakim di sidang pengadilan yang memeriksa perkara pelaku pelanggar Pasal 285 KUHP. (*)