Parapuan.co - Kawan Puan, tahukah kamu bahwa Banda Naira, Kepulauan Banda, Maluku merupakan lokasi pembuangan para tahanan politik zaman Hindia Belanda pada awal abad ke-20?
Tempat ini juga menjadi saksi bisu pertemuan empat tokoh pergerakan Indonesia yaitu Sutan Sjahrir, Mohammad Hatta, dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, dan Iwa Koesoema Soemanteri.
Titimangsa Foundation dan Bakti Budaya Djarum Foundation mengangkat kisah para tokoh besar Republik Indonesia di tanah pembuangan Banda Naira.
Kisah tersebut diangkat dalam lakon Mereka yang Menunggu di Banda Naira.
Lakon yang kaya akan kisah sejarah tersebut dapat disaksikan di kanal YouTube IndonesiaKaya mulai Jumat, 17 Desember 2021 Pukul 19.00 WIB selama 6 bulan ke depan.
Lakon Mereka yang Menunggu di Banda Naira ini merupakan dokumentasi pementasan pada 25 November 2021 lalu di Gedung Kesenian Jakarta.
Baca Juga: Musikal Horor IBU Tampilkan Potret Kelam Kehidupan Perempuan Zaman Dahulu
Lakon ini menjadi pementasan pertama selama pandemi yang diselenggarakan secara langsung di gedung seni pertunjukan dengan jumlah penonton terbatas.
Berdasarkan rilis yang PARAPUAN terima, Titimangsa Foundation juga menerapkan protokol kesehatan yang ketat.
Seluruh kru, pemain, dan penikmat seni wajib sudah melakukan vaksinasi Covid-19 sebanyak dua kali dan melakukan tes baik PCR atau antigen dengan hasil negatif.
"Dalam pementasan ini, para penikmat seni dan para pemeran sama-sama berada di atas panggung," ujar Happy Salma, selaku produser.
Menurut keterangan Happy, para penikmat seni dapat melihat jelas setiap pergantian babak dan set, bagaimana kerja sama aktor dan kru terasa begitu dekat dan nyata.
"Pertunjukan ini bagi saya pribadi membuka banyak pikiran akan cita-cita kemerdekaan yang diucapkan oleh Bung Sjahrir, Bung Hatta, Bung Iwa Soemantri, dan Bung Cipto," tambahnya.
Happy Salma berharap penikmat seni yang akan menyaksikan lakon ini dari rumah secara virtual dapat merasakan energi yang sama dengan menontonnya secara langsung.
Sebuah novel karya Sergius Sutanto bertajuk Bung Di Banda menarik perhatian Titimangsa Foundation untuk dipentaskan sebagai produksi ke-52.
Novel ini dialih wahanakan oleh almarhum Gunawan Maryanto sebagai naskah lakon pementasan.
Baca Juga: Nonton Teater di Rumah Saja, Indonesia Kaya Hadirkan Musikal Horor IBU
Kemudian, ditafsir ulang oleh Wawan Sofwan untuk pertunjukan Mereka Yang Menunggu Di Banda Naira.
Renitasari Adrian, Program Director Bakti Budaya Djarum Foundation menyatakan alasan lakon ini diadakan secara hybrid.
"Sebagai bukti bahwa dunia seni pertunjukan di Indonesia dan para pekerja seni selalu menemukan cara untuk terus hidup dan berkembang dalam situasi dan kondisi apapun," katanya.
Selama kurang lebih 120 menit, Mereka yang Menunggu di Banda Naira menceritakan tentang pertemuan empat tokoh pergerakan Indonesia.
Tokoh tersebut adalah Bung Syahrir, Bung Hatta, Bung Tjipto dan Bung Iwa, di tanah pembuangan Banda Naira.
Tahun 1936, Sjahrir dan Hatta tiba di Banda Naira sebagai tahanan politik.
Mereka bertemu dengan tahanan politik lainnya, Tjipto dan Iwa yang sudah terlebih dahulu berada di sana.
Meski ada dalam pengasingan, mereka tak gentar meneruskan perjuangan di bidang sosial dan pendidikan.
Kesibukan ini tidak disukai oleh penguasa setempat Hindia Belanda, Kloosterhuis, yang akhirnya memberlakukan pembatasan-pembatasan ruang gerak.
Pementasan teater ini sutradarai oleh Wawan Sofwan, diproduseri oleh Happy Salma dan naskah cerita ditulis oleh Gunawan Maryanto yang kemudian ditafsir ulang oleh Wawan Sofwan.
Baca Juga: Tayang di YouTube, Serial Musikal 'Nurbaya' Berikan Pengalaman Menonton Teater Secara Daring
Pementasan ini dibintangi Reza Rahadian sebagai Sutan Sjahrir, Lukman Sardi sebagai dr. Tjipto Mangoenkoesoemo, Tanta Ginting sebagai Mohammad Hatta.
Selain itu Verdi Solaiman sebagai Iwa Koesoema Soemanteri dan Willem Bevers sebagai Kloosterhuis.
Tergabung juga aktris film yang baru pertama kali menjejakkan kaki di panggung teater, Julie Estelle sebagai Maria Duchtaeau.
Tak hanya itu, ada juga aktor cilik pendatang baru, Akiva Sardi sebagai Des Alwi.
(*)