4. Jangan mengabaikan emosi
Poin ini biasanya terjadi pada anak laki-laki atau pada suami dalam sebuah rumah tangga
Mereka diposisikan untuk menjadi seorang yang kuat, tidak boleh terlihat lemah, mampu melindungi, dan sebagainya.
"Nangis enggak boleh, enggak ada ruang berekspresi yang cukup untuk beban mereka yang berat. Laki-laki butuh sedikit ruang untuk mengungkapkan ekspresi emosinya," jelas Astrid.
Baca Juga: Kenali Jenis Kekerasan pada Perempuan dari Segi Ekonomi dan Dampaknya
Contoh lain dari pengabaian emosi, misalnya tidak adanya teguran ketika anak berbuat salah, pujian ketika berbuat baik, ungkapan bangga ketika berprestasi, dan lain sebagainya.
"Pengabaian emosi, baik sengaja atau tidak sengaja pada anak kita yang laki-laki akan menyebabkan dia bingung sekali, emosi apa sih yang terjadi di dalam dirinya. Akhirnya dia mencoba mengatasinya dengan cara yang enggak tepat," ungkap dia.
"Ketika emosi disepelekan, dia akan merasa emosi yang ada dalam dirinya tidak penting. Kalau begitu emosi orang lain juga enggak penting, dia bisa berbuat semena-mena ke orang," sebut Astrid.
Jika beberapa poin di atas bisa diterapkan dengan optimal, maka potensi seorang anak untuk melakukan tindakan yang merugikan orang lain bisa ditekan.
Mereka tidak memiliki cukup alasan untuk berbuat sesuatu yang merugikan orang lain.
Selain mendapatkan pendidikan seksual sejak dini, mereka juga telah memahami konsep relasional, menjaga satu sama lain, menghargai sesama, dan lain sebagainya.
Sehingga, beberapa upaya di atas dapat dijadikan sebagai upaya pola asuh untuk mencegah terjadinya kekerasan pada perempuan maupun bentuk kekerasan seksual lainnya.
(*)