Parapuan.co - Kasus kekerasan pada perempuan dan kekerasan seksual yang terjadi pada anak dan remaja semakin marak terungkap akhir-akhir ini.
Pelecehan seksual dapat memberikan dampak negatif pada korban dan keluarganya.
Selain itu, banyak faktor yang memengaruhi seseorang menjadi pelaku atau korban kekerasan seksual.
Psikolog Anak dan Keluarga Astrid Wen menjelaskan, terdapat beberapa pola asuh yang dapat membentuk seorang anak jauh dari tindak kekerasan seksual atau kekerasan pada umumnya.
Berikut beberapa pola asuh yang dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya kekerasan seksual.
Baca Juga: Viral Serial Layangan Putus, Selingkuh Ternyata Bentuk Kekerasan pada Perempuan dalam Rumah Tangga
1. Memberikan edukasi seks dan relasi
Berkaitan dengan kekerasan pada perempuan pencegahan kekerasan seksual, memberikan edukasi seks dan relasi dapat dilakukan sejak dini.
"Perlu. Edukasi seks itu yang penting supaya setiap orang memiliki kehidupan seksualitas yang aman. Sedangkan menanamkan pemahaman tentang konsep relasi mencegah penyalahgunaan kekuasaan atau the power of abuse," kata Astrid, saat dihubungi Kompas.com, Rabu (29/12/2021).
Dua hal ini menjadi poin utama agar anak dapat memahami apa itu seksualitas dan ke depannya tidak akan menggunakan kekuatannya untuk menekan pihak lain sehingga timbul kerugian.
"Kesetaraan gender, bagaimana laki-laki menghargai perempuan. Bagaimana perempuan memperlakukan laki-laki. Adanya rasa hormat satu sama lain," jelas Astrid.
Selanjutnya, berikut cara lainnya yang bisa dilakukan sebagai pola asuh untuk mencegah kejahatan seksual.
2. Menghindari kekerasan
Masih berkaitan dengan kekerasan pada perempuan dan kekerasan lainnya, menghindari kekerasan dalam bentuk apapun sebaiknya dihindari dalam keluarga.
Misalnya kekerasan dalam bentuk verbal maupun fisik yang sebaiknya dihindari.
Terlebih lagi, jangan sampai kekerasan tersebut dilihat oleh anak-anak yang masih ada dalam proses perkembangan.
"Dicek saja, keluarga kita masih ada kekerasan atau enggak, karena kalau masih familiar dengan kekerasan, ketika anak nantinya melihat kekerasan yang lain, tidak aneh. Dia dipukuli pacarnya, atau dia mukulin pacarnya, itu dunianya dia," jelas dia.
Dengan orangtua selalu mencontohkan perilaku yang lembut dan penuh dengan kasih sayang, maka anak tidak akan terbiasa dengan tindak kekerasan.
Itu akan ia bawa dalam caranya memperlakukan orang lain di kemudian hari.
Baca Juga: Tanda Perselingkuhan Jadi Bentuk Kekerasan pada Perempuan secara Emosional
3. Memperbaiki kemampuan komunikasi
Orangtua harus selalu mau untuk memperbaiki kemampuannya dalam berkomunikasi dengan anak.
Sebagian orangtua bertindak otoriter atau keras terhadap anak, tetapi tidak bisa menjelaskan apa sebenarnya yang diharapkan dari sikap itu.
Ada juga yang menyakiti anaknya hanya karena belum cukup lihai mengendalikan emosi diri pribadinya.
"Kenapa sih saya dipukul? Kadang enggak jelas kenapa dia dipukul. Alasannya enggak disampaikan atau alasannya enggak masuk akal," ungkap dia.
Komunikasi dapat menjadi salah satu cara pola asuh untuk mencegah terjadinya kejahatan seksual.
Astrid menambahkan, masih terdapat orang tua yang masih sulit mengomunikasikan keinginan atau kondisinya kepada anak, orangtua masih ingin dilihat lebih superior dari anak, orang tua masih kesulitas mengendalikan dirinya.
Astrid juga menyebutkan bahwa orang tua semestinya belajar untuk memperbaiki diri, tidak mengulang kesalahan yang sama, dan berani meminta maaf kepada anak, jika memang bersalah.
Dengan demikian, anak akan belajar untuk mempunyai sikap yang baik, termasuk dalam memperlakukan orang lain.
4. Jangan mengabaikan emosi
Poin ini biasanya terjadi pada anak laki-laki atau pada suami dalam sebuah rumah tangga
Mereka diposisikan untuk menjadi seorang yang kuat, tidak boleh terlihat lemah, mampu melindungi, dan sebagainya.
"Nangis enggak boleh, enggak ada ruang berekspresi yang cukup untuk beban mereka yang berat. Laki-laki butuh sedikit ruang untuk mengungkapkan ekspresi emosinya," jelas Astrid.
Baca Juga: Kenali Jenis Kekerasan pada Perempuan dari Segi Ekonomi dan Dampaknya
Contoh lain dari pengabaian emosi, misalnya tidak adanya teguran ketika anak berbuat salah, pujian ketika berbuat baik, ungkapan bangga ketika berprestasi, dan lain sebagainya.
"Pengabaian emosi, baik sengaja atau tidak sengaja pada anak kita yang laki-laki akan menyebabkan dia bingung sekali, emosi apa sih yang terjadi di dalam dirinya. Akhirnya dia mencoba mengatasinya dengan cara yang enggak tepat," ungkap dia.
"Ketika emosi disepelekan, dia akan merasa emosi yang ada dalam dirinya tidak penting. Kalau begitu emosi orang lain juga enggak penting, dia bisa berbuat semena-mena ke orang," sebut Astrid.
Jika beberapa poin di atas bisa diterapkan dengan optimal, maka potensi seorang anak untuk melakukan tindakan yang merugikan orang lain bisa ditekan.
Mereka tidak memiliki cukup alasan untuk berbuat sesuatu yang merugikan orang lain.
Selain mendapatkan pendidikan seksual sejak dini, mereka juga telah memahami konsep relasional, menjaga satu sama lain, menghargai sesama, dan lain sebagainya.
Sehingga, beberapa upaya di atas dapat dijadikan sebagai upaya pola asuh untuk mencegah terjadinya kekerasan pada perempuan maupun bentuk kekerasan seksual lainnya.
(*)