Kemunculan lagu itu mendapat kritikan dari Amanda Hess lewat tulisannya yang tayang di surat kabar Washington City Paper.
“Taylor Swift menyanyikan lagu-lagu tentang perempuan harus menunggu, menjadi seorang putri, dan menangis untuknya 'Romeo'. Dan berharap Romeo untuk menyelamatkannya dari ayahnya, yang sangat kejam. Kemudian, dia membuat video untuk lagu-lagu ini di mana dia benar-benar menunggu di menara gading untuk pangerannya datang,” ujar Amanda Hess dalam tulisannya.
Kritikan itu kemudian dijawab oleh Taylor Swift pada tahun 2012 melalui The Daily Beast.
“Saya tidak benar-benar memikirkan hal-hal sebagai pria versus wanita. Saya tidak pernah. Saya dibesarkan oleh orang tua yang membesarkan saya untuk berpikir jika Anda bekerja sekeras laki-laki, Anda bisa melangkah jauh dalam hidup,” kata Taylor Swift saat itu.
Dua tahun kemudian tepatnya tahun 2014, Taylor Swift mendeklarasi dirinya sebagai seorang feminis.
Sejak saat itu ia banyak belajar dan membaur dengan artis feminis lainnya seperti Beyonce, Lorde, Emma Watson, dan Chloe Grace Moretz.
Namun Taylor Swift membawa kata "intersectionality" ke dalam budaya pop mainstream ketika ia dan Nicki Minaj memperdebatkan nominasi MTV Video Music Award.
Nicki Minaj mengeluh di Twitter bahwa video musik "Anaconda" banyak yang berkomentar "melecehkan", sedangkan "Bad Blood" di album 1989 milik Taylor Swift mendapat komentar positif.
"Jika video Anda merayakan wanita dengan tubuh yang sangat ramping, Anda akan dinominasikan untuk vid of the year," ujar Nicki Minaj saat itu.
Baca juga: Ada Mata Kuliah Taylor Swift di New York University, Ini Isi Pelajarannya