Parapuan.co – Kawan Puan, pernahkah kamu merasa senang saat melihat orang lain kesusahan? Jika iya, kemungkinan kamu tengah mengalami schadenfreude.
Dalam bahasa Ibrani, menikmati bencana orang lain disebut simcha la-ed. Sementara, dalam bahasa Jerman, itu disebut schadenfreude—dari kata Schaden yang berarti kerusakan atau cedera dan freude yang berarti sukacita atau kenikmatan: sukacita atas kerusakan.
Bahkan, menikmati kesusahan orang lain ini memiliki peribahasa tersendiri, yaitu: kemalangan orang lain terasa seperti madu.
Pada berbagai foto bersejarah, orang-orang memancarkan wajah gembira yang sangat berbeda dari wajah gembira sembunyi-sembunyi yang ditunjukkan oleh manusia modern saat menyaksikan kemalangan orang lain.
Namun pada 2015, sebuah laboratorium di Würzburg, Jerman, mengajak tiga puluh dua penggemar sepak bola dipasangi alat elektromiografi di wajah.
Alat ini berfungsi untuk mengukur senyum dan kerenyit mereka saat menonton cuplikan siaran televisi dari keberhasilan dan kegagalan tendangan penalti tim Jerman dan tim musuh bebuyutan mereka, Belanda.
Para psikolog menemukan bahwa ketika tim Belanda tidak berhasil menendang bola ke gawang, senyum para penggemar tim Jerman muncul lebih cepat dan lebih lebar daripada ketika tim Jerman sendiri berhasil mencetak gol.
Senyum dan sukacita schadenfreude tidak bisa dibedakan dari senyum dan sukacita yang lain, kecuali dalam satu hal: kita lebih banyak tersenyum untuk kegagalan musuh dibandingkan dengan keberhasilan kita sendiri.
Namun jangan salah, dengan berjalannya waktu, dalam soal membahagiakan diri, kita telah lama mengandalkan kegagalan dan terhinanya orang lain.
Baca Juga: Mulai Ubah Rasa Iri dalam Diri Sebagai Motivasi, Bagimana Caranya?
“Melihat orang lain menderita itu baik bagi seseorang,” tulis filsuf Friedrich Nietzsche.
“Membuat orang lain menderita itu lebih baik lagi. Ini kata-kata yang keras, tetapi sebuah prinsip keras manusia, sangat manusiawi.”
Lantas, mengapa rasanya begitu nikmat menyaksikan kesusahan orang lain? Apakah yang seharusnya kita lakukan soal itu? Apakah itu salah?
Penyebab timbulnya schadenfreude ini bisa Kawan Puan temukan di dalam buku Schadenfreude: Mengapa Kita Senang Melihat Orang Susah yang ditulis oleh Tiffany Watt Smith.
Buku ini adalah satu dari tidak banyak buku yang membahas fenomena schadenfreude. Ini bukanlah semacam kitab ajaran moral agar orang menjadi seperti malaikat dan terbebas dari perasaan-perasaan negatif.
Buku ini justru mengajak pembaca mengamati fenomena schadenfreude, memahami sebab-sebab dan efeknya, serta bersikap objektif terhadap emosi itu.
Tiffany selaku penulis mengajak pembaca untuk lebih berempati terhadap orang lain yang mengalami kemalangan meskipun itu musuh yang sering berbuat jahat terhadap kita—misalnya.
Namun di sisi lain Tiffanny juga menunjukkan bahwa emosi semacam ini bukannya tidak penting.
Baca Juga: Mengenal Apa Itu Honjok, Seni Hidup Sendiri ala Orang Korea Selatan
Schadenfreude mungkin tampak kejam, tetapi ketika kita melihat lebih dekat, muncul pemandangan emosional yang kompleks.
Senyum sinis yang timbul di atas kesusahan orang lain diungkap sebagai tanda kerentanan.
Selain itu, senyum tersebut tampak seperti kebencian mungkin sebenarnya adalah cinta dan hasrat untuk ikut bergabung.
Satu hal yang menggembirakan ketika kita mendengar kabar kemalangan orang lain adalah penemuan bahwa kita tidak sendiri di dalam kekecewaan kita, tetapi bagian dari komunitas manusia gagal.
Secara ringkas, dapat dikatakan bahwa buku ini membahas emosi tersembunyi dan kesenangan julid itu lalu mengajak pembaca merenungkannya.
Ditulis dengan penjelasan yang jernih, buku ini menggabungkan observasi personal dan analisis kultural dengan bahasa yang ringan dan mengalir lancar—menyingkap informasi penting, sekaligus memperluas wawasan.
Jika Kawan Puan tertarik dengan buku Schadenfreude: Mengapa Kita Senang Melihat Orang Susah, kamu bisa membaca informasi lebih lengkap melalui Gramedia.com.
Yuk cari tahu mengapa fenomena ini sering muncul bahkan tanpa sadar kerap kita alami ketika melihat kesusahan orang lain! (*)
Baca Juga: Pikiran Bercabang Awal dari Rasa Tidak Bahagia, Begini Cara Mengatasinya