Dari total 535 responden yang mengaku menikah, 237 di antaranya adalah laki-laki (65%), sebanyak 297 adalah perempuan (56%), dan sisanya tidak menyebutkan jenis kelaminnya.
Dari sisi pendidikan, sebagian besar responden yang berjumlah 498 orang merupakan sarjana, di mana 210 orang (58%) di antaranya laki-laki, dan 288 responden (54%) merupakan perempuan.
Responden yang mengaku bekerja sebagai karyawan swasta mencapai 491 orang di mana 206 orang (57%) merupakan laki-laki, 284 orang (53%) adalah perempuan, dan sisanya tidak menyebutkan jenis kelaminnya.
Toxic Masculinity Menghambat Kemajuan Organisasi
Sesungguhnya, toxic masculinity sesungguhnya kontra produktif terhadap operasional perusahaan dan harus dibenahi.
“Tentu anggapan tradisional maskulinitas seperti ini bisa mendorong perilaku negatif di tempat kerja,” ujar Maya.
Dampak dari toxic masculinity adalah adopsi perilaku negatif pada laki-laki yang berbahaya bagi perempuan, masyarakat maupun laki-laki itu sendiri.
Bentuk adopsi perilaku negatif ini bisa berupa tampilan dominasi yang tidak diinginkan, pengambilan risiko yang tidak bertanggung jawab dan kebencian terhadap perempuan.
Lebih lagi, perilaku bias yang negatif ini bisa tertanam dalam pikiran bawah sadar seseorang.