Parapuan.co - Insiden kekerasan berujung kematian yang dilakukan oleh seorang ibu di Brebes, Jawa Tengah, terhadap anak kandungnya sendiri, membuat publik geger.
Ibu berusia 35 tahun itu menganiaya tiga anak kandungnya sendiri, bahkan satu di antaranya meninggal dunia karena luka di lehernya.
Sementara itu dua anak lainnya yang berusia 10 tahun dan 4 tahun, dilarikan ke rumah sakit akibat luka serius.
Video pengakuan kekerasan yang dilakukan sang ibu pun viral di media sosial.
Ia mengaku tega melakukan tindakan tersebut kepada ketiga anaknya sendiri, karena ingin bertobat sebelum meninggal dunia.
"Saya cuman mau tobat sebelum mati. Saya cuma mau menyelamatkan anak-anak biar nggak dibentak-bentak," ungkap pelaku berinisial KU tersebut.
Dalam pengakuan miris itu, pelaku mengaku tega menganiaya anak-anaknya karena tak ingin mereka merasakan kesedihan seperti dirinya.
"Kayak saya dari kecil. Tidak ada yang tahu saya memendam puluhan tahun," ujarnya.
Pengakuan ini pun menuai berbagai komentar dari warganet di media sosial.
Baca Juga: Cegah Luka Inner Child, Ini 7 Kalimat yang Perlu Dihindari saat Mendidik Anak
Sebagian menyoroti kesehatan mental ibu dan pentingnya menyembuhkan luka inner child yang dibawa sejak kecil.
Inner child yang dibawa dari kecil hingga dewasa seringkali membuat seseorang, termasuk perempuan, merasa tidak berharga.
Psikolog anak Anastasia Satriyo mengatakan perempuan yang merasa tak berharga cenderung rentan terhadap hubungan toksik dan melakukan hal-hal yang membahayakan diri.
"Anak perempuan yang tumbuh dewasa dengan luka inner child yang tidak disadari akan memiliki konsep diri yang sangat intens merasa tidak berharga/low of self worth, lebih rentan melakukan tindakan yang membahayakan diri,” jelas Anastasia kepada PARAPUAN beberapa waktu lalu.
Selain itu, kita juga sulit untuk benar-benar merasa bahagia seutuhnya. Karena, kita masih menyimpan luka yang begitu dalam dari inner child.
“Lebih rentan terjebak di relasi toksik, karena merasa keberhargaan diri datangnya dari pengakuan pasangan/orang lain bukan dari diri sendiri.
"Susah benar-benar merasa bahagia dengan diri dan hidup karena merasa diri sendiri adalah gelas kosong yang harus terus menerus diisi "cinta"/perhatian oleh orang lain," pungkasnya.
Kondisi inilah yang kemudian membuat seseorang tak punya pengalaman tentang rasa aman secara emosi, tidak merasa didengarkan dan ditemani.
Baca Juga: Wah, Ternyata Dehidrasi Berkontribusi Pada Depresi! Ini Penjelasannya
Lantas, apa yang perlu dilakukan?
Anastasia menyarankan setiap kita untuk mengenal diri sendiri, termasuk luka yang kita bawa sejak masa kecil.
Ketika kamu mengingat perilaku kurang menyenangkan yang dialami sejak kecil, kamu bisa melatih diri lewat inner talk.
"Berbicara dengan diri sendiri akan membantu kita melatih dan menyadari perasaan positif," ungkapnya.
Latihan bicara dengan diri sendiri akan membantu kita menemukan hal-hal tentang diri yang selama ini mungkin jarang disadari.
Mulai dari emosi dan perasaan yang muncul, kemudian belajar memahami bagaimana semua perasaan tersebut bisa muncul.
"Makin kenal sama diri yang di dalam, belajar mengenali dan menamai perasaan dan emosi yang muncul.
"Belajar memenuhi kebutuhan emosi kita dulu dengan cara-cara self-care emosi, olahraga, makan yang sehat, latihan napas, kualitas tidur dan istirahat yang cukup akan membuat kita makin sayang sama diri,” ujar Anastasia.
Selain itu jika memang dirasa perlu, Kawan Puan juga bisa meminta bantuan profesional seperti psikolog.
Baca Juga: Memahami Inner Child, Luka Batin Masa Kecil yang Abadi hingga Dewasa
Kamu bisa konsultasi dengan terapis atau mereka yang profesional dalam bidang kesehatan mental.
Kehadiran profesional ini dapat membantu mencari jalan terbaik untuk mengatasi luka pada inner child-mu.
Terapis akan berusaha memberikan ruang aman untuk memulai gejolak emosi dan mempelajari strategi terbaik guna menyembuhkan inner child.