Kisah Uminatus Sholikah, Sosok yang Perjuangkan Nasib Perempuan Nelayan di Demak

Ardela Nabila - Rabu, 6 April 2022
Uminatus Sholikah, pejuang nasib perempuan nelayan di Demak.
Uminatus Sholikah, pejuang nasib perempuan nelayan di Demak. Dok. Aditya Putra Perdana/Kompas

Parapuan.co - Hari Nelayan Nasional yang diperingati setiap tanggal 6 April menjadi momen yang tepat untuk mengapresiasi para nelayan di Indonesia.

Di balik perjuangan seorang nelayan laki-laki, terdapat sosok perempuan nelayan yang ikut serta membantu sang suami dalam memenuhi kebutuhan ekonominya, seperti Uminatus Sholikah.

Ia merupakan sosok perempuan yang rela menghabiskan tenaganya untuk berjuang membela hak para perempuan nelayan agar dapat terpenuhi.

Umi, panggilan akrabnya, merupakan seorang perempuan yang bekerja menjual produk perikanan setiap harinya di lingkungan tempatnya tinggal, yakni di Kecamatan Bonang, Demak, sejak tahun 1998.

Mengutip Kompas.id, pada tahun 2015, ia bergabung dengan Puspita Bahari, sebuah kelompok advokasi yang bergerak di bidang koperasi serta pemberdayaan perempuan untuk mendorong peningkatan ekonomi keluarga.

Komunitas tersebut juga dikenal membantu perlindungan hukum bagi perempuan, misalnya saja perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Keterlibatan Uminatus Sholikah di Puspita Bahari membuatnya menjadi sering bertemu dengan orang-orang dari berbagai organisasi non-pemerintah, seperti Koalisi Rakyat untuk Keadilan Perikanan (Kiara).

Lewat berbagai organisasi tersebut, Umi pun banyak mendapat pengetahuan baru yang membuka pikirannya, salah satunya yang ia perjuangkan adalah terkait akses asuransi bagi nelayan.

Akhirnya, pada akhir tahun 2016, Umi bersama sang suami yang bernama Supiyan (almarhum), memutuskan untuk memberikan pemahaman mengenai asuransi.

Baca Juga: Hari Nelayan Nasional, Kenali Serba-serbi Profesi sebagai Nelayan

Tak hanya itu, Umi dan suaminya juga turut membantu rekan nelayannya untuk mendapatkan kartu asuransi yang disediakan oleh pemerintah.

“Setelah diberi tahu Kiara bahwa ada asuransi untuk nelayan, kami ngomong ke bapak-bapak (nelayan) di sini. Saat itu, saya berpikir, pemerintah kan menyediakan, tetapi kalau tidak diakses, dananya bisa ke mana-mana. Jadi, kenapa tak dimanfaatkan saja,” ujar Umi kepada Kompas.id, dikutip Rabu (6/4/2022).

Dengan bantuan suaminya, perempuan kelahiran Grobogan, 24 April 1981 itu akhirnya berhasil membantu sekitar 100 nelayan untuk mendapatkan kartu asuransi tersebut.

Barulah pada tahun 2017, tercetus dari mulut sang suami terkait kartu asuransi untuk perempuan Demak yang turut serta melaut, khususnya di Dukuh Tambakpolo, Desa Purworejo, Bonang.

Menurutnya, para perempuan tersebut kerap menutupi setengah wajahnya ketika melaut lantaran merasa malu harus mengerjakan pekerjaan laki-laki.

“Dengan perahu, saya dan suami lalu mendatangi rumah-rumah mereka. Ternyata memang banyak perempuan melaut bersama suaminya,” cerita Umi.

Tantangan dalam memperjuangkan hak perempuan nelayan

Dalam memperjuangkan hak para perempuan nelayan agar bisa mendapatkan kartu asuransi, Umi tentunya dihadapi oleh berbagai tantangan.

Pasalnya, tak sedikit dari mereka yang memiliki pandangan bahwa asuransi sama saja seperti membicarakan kematian.

Baca Juga: Cerita Utari Octavianty, Bangun Aruna Demi Tingkatkan Kesejahteraan Nelayan Indonesia

Budaya patriarki yang masih kental di wilayah tersebut juga membuat para perempuan nelayan tersebut takut akan dampak sosial yang akan diterimanya.

Namun, hal tersebut justru menjadi bahan bakar untuk terus semangat berjuang bersama dengan Masnu’ah yang juga merupakan Sekjen Persaudaraan Perempuan Nelayan Indonesia (PPNI) dan Susan Herawati yang merupakan Sekjen Kuara.

Namun sayangnya, setelah para sekelompok perempuan nelayan tersebut bersedia, pada tahun 2017 ketika mendatangi kantor desa untuk mengurus kartu tersebut, Umi harus mengalami penolakan.

Alasannya, pemerintah desa setempat tidak percaya bahwa ada perempuan yang ikut melaut.

Setelah mengalami berbagai penolakan dan terus mencoba berbagai upaya, perjuangan ibu tiga anak itu bersama dengan perempuan nelayan lainnya akhirnya mulai membuahkan hasil.

Pada tahun 2017, pihak desa menyetujui perubahan pekerjaan di KTP yang semulanya tertulis ibu rumah tangga menjadi buruh nelayan/perikanan, yang ternyata sebutan “buruh” tersebut ditentang oleh para perempuan nelayan.

Para perempuan nelayan merasa, mereka bukanlah buruh, namun seorang nelayan yang sama seperti para suaminya dan juga merupakan pemilik kapal.

Khawatir mereka tidak bisa mendapatkan hak yang sama jika tertulis buruh nelayan di keterangan, Umi pun kembali mencari cara lain hingga isu tersebut akhirnya mencuri perhatian media massa.

Baca Juga: Sayyida A Hurra, Ratu Bajak Laut Perempuan yang Ditakuti Eropa

Pada Februari 2018, perjuangan Umi kembali membuahkan hasil dengan disetujuinya kata “buruh” pada surat keterangan.

Namun, lagi-lagi perjuangannya tak berakhir di situ, sebab pengurusan kartu asuransi nelayan yang dilakukan di Dinas Kelautan dan Perikanan (DKP) Demak tak kunjung rampung hingga lebih dari setahun.

Pada Februari 2019, dalam kegiatan Musyawarah Perencanaan Pembangunan (Musrenbang) yang dihadiri oleh Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo, Umi akhirnya menyampaikan langsung keluh kesahnya.

Akhirnya, barulah pada 9 Agustus 2019, setelah lebih dari dua tahun berjuang bersama, sebanyak 31 perempuan nelayan di Demak resmi diakui dan mendapatkan kartu asuransi dari Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP).

Walaupun telah berhasil, Uminatus Sholikah menegaskan bahwa hal tersebut bukanlah akhir dari perjuangannya, sebab ia masih harus terus menumbuhkan kesadaran agar mereka dapat terus memperpanjang kartu tersebut.

Ibu tiga anak itu berharap, para nelayan dapat aktif mengurus perpanjangan dan tidak menunda-nunda. (*)

Sumber: Kompas.id
Penulis:
Editor: Arintya


REKOMENDASI HARI INI

6 Bahan Alami untuk Membantu Mengatasi Masalah Biang Keringat