Parapuan.co - Dugaan kasus suap Rektor Universitas Lampung (Unila) masih menjadi perhatian publik.
Karomani, selaku Rektor Unila diduga menjadi tersangka kasus suap program penerimaan mahasiswa baru (PMB) tahun 2022 melalui jalur mandiri.
Karomani diduga menerima suap sebesar Rp5 miliar karena meluluskan calon mahasiswa baru melalui Seleksi Mandiri Masuk Unila (Simaknila).
Tak sendiri, kasus dugaan suap ini juga menyeret Wakil Rektor I Bidang Akademik dan Ketua Senat Unila.
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menduga jika Karomani memasang tarif Rp100 juta hingga Rp350 juta untuk meluluskan mahasiswa yang mendaftar jalur mandiri.
Sementara menurut Pengamat Pendidikan Darmaningtyas, dirinya berpandangan bahwa setidaknya ada tiga faktor yang memicu sikap korupsi di lingkungan pendidikan, terumata kampus.
Melansir dari Kompas.com, berikut ini 3 faktor yang mungkin jadi penyebabnya.
1. Pemilihan Rektor Perguruan Tinggi Negeri
Menurut Darmaningtyas, pemilihan rektor PTN tidak jauh berbeda dengan pejabat negara.
Baca Juga: Ditangkap KPK, Rektor Unila Diduga Kantongi Uang Suap hingga Rp 5 Miliar
Artinya, rektor dipilih bukan sekedar pertimbangan akademik saja melainkan juga kepentingan politik.
Tak jarang jika persaingan pemilihan rektor ini dibumbui dengan upaya jegal-menjegal antara satu calon dan calon lainnya.
Darmaningtyas juga mengatakan bahwa persaingan ini termasuk lobi-lobi ke penentu suara.
Seperti Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi.
Biaya lobi ini bisa gratis apabila kandidat memiliki koneksi dengan menteri.
Sementara jika tidak, lobi terpaksa harus dilakukan melalui jalur lain.
Inilah yang menyebabkan kandidat harus mengeluarkan biaya yang cukup besar.
"Misalkan dia terpilih jadi rektor di PTN, dari mana harus mengembalikan uang lobi tersebut?" ujar Darmaningtya.
Baca Juga: Lili Pintauli Siregar Diberhentikan dari Pimpinan KPK, Telah Ditandatangani Jokowi
2. Kursi Rektor yang Dipandang sebagai Jabatan Politis
Faktor lain, banyak orang yang memiliki pandangan jika kursi rektor dilihat sebagai jabatan politis dan prestisius.
Darmaningtyas memberi contoh ketika kampus memiliki acara besar, rektor akan memberikan sumbangan lebih besar dari pada dosen.
Hal ini mereka lakukan guna menjaga gengsi dan jabatan mereka.
Padahal kenyataannya, gaji seorang rektor terbatas.
"Terpaksa lah harus tilep sana tilep sini. Maka, kalau tidak menghendaki rektor di PTN itu korup ya jangan pernah turut menambah beban ekonomi pada mereka," terangnya.
3. Adanya Program Jalur Mandiri
Terakhir, Darmaningtyas mengungkap bahwa adanya jalur seleksi mahasiwa baru dengan program jalur mandiri menjadi celah kasus korupsi dan penyuapan di lingkungan PTN.
Menurutnya, penerimaan mahasiswa melalui jalur mandiri merupakan media penerimaan berdasarkan kemampuan membayar calon mahasiswa.
Artinya, semakin tinggi kemampuan calon mehasiswa membayar maka semakin tinggi pula kemungkinan di terima di PTN tersebut.
"Itu lah sumber korupsi yang paling mudah dimainkan oleh para pimpinan di PTN," tegasnya.
Sebagai informasi, program penerimaan mahasiswa baru melalui jalur mandiri diperbolehkan oleh Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan.
Meski begitu, Darmaningstyas mengkau mendorong penghapusan pasal tentang PMB jalur mandiri ini.
Sayangnya, hingga kini aturan tersebut masih dipertahankan.
Baca Juga: Perempuan Bendahara Desa Jadi Tersangka setelah Laporkan Kasus Korupsi, Begini Penjelasan Kajari
(*)