Mengenal Kuliner Masyarakat Adat, Minim Bumbu tapi Kaya Rasa

Maharani Kusuma Daruwati - Kamis, 15 September 2022
Manok Pasoh
Manok Pasoh Photo by La Ode

“Di samping itu, kuliner Masyarakat Adat cenderung jarang menggunakan minyak, apalagi dalam jumlah banyak. Misalnya, jika memasak dengan bambu, kita tidak perlu menggunakan tambahan minyak. Minyak yang digunakan adalah minyak alami dari bahan protein, misalnya ayam. Bumbu yang dibubuhkan pada ayam pun tidak perlu ditumis, cukup dicampurkan begitu saja. Air yang digunakan untuk memasak juga dari air bambu itu sendiri,” kata Silvy.

Memasak dengan cepat juga membuat kandungan vitamin tetap terjaga. Misalnya, memasak manok pansoh tak perlu waktu lama, karena ayamnya sudah dipotong kecil-kecil.

Dengan begitu, sari alami ayam tidak hilang, tapi ayam tetap empuk dan lezat. Sementara daun kelor yang mampu memperbaiki kondisi gizi buruk di NTT juga hanya perlu dimasak sebentar saja.

Festival Kuliner hingga Kompetisi Memasak

Fifin berpendapat, masakan-masakan komunitas adat merupakan warisan dari nenek moyang sejak zaman dahulu. Ia berharap masakan ini tidak berhenti sampai di generasi sekarang dan perlu dilestarikan.

Silvy melihat, selain melalui festival kuliner, maraknya reality show kompetisi memasak bisa menjadi kendaraan yang tepat untuk mempromosikan makanan komunitas adat.

“Misalnya, peserta diminta membuat makanan dari daun kelor. Jangan melulu diminta membuat sesuatu dari bahan impor. Dengan begitu, peserta bisa bantu mempromosikan daun kelor, sekaligus mendorong mereka untuk menggali kembali identitas dirinya yang berasal dari daerah.”

Sependapat dengan Fifin, La Ode beranggapan bahwa kuliner Masyarakat Adat harus tetap ada, walaupun tidak disajikan dalam sebuah ritual adat. Ia berharap makanan tersebut lebih banyak diperjual-belikan di daerahnya sendiri, tanpa mengurangi unsur kulturalnya.

“Dengan begitu, pengunjung yang mendatangi suatu daerah bisa tetap menikmatinya, meski tidak datang kala upacara tertentu. Sehingga, makanan itu jadi semakin populer, seperti halnya rendang,” ucap La Ode.

Bagi Jordhi yang mengakui bahwa generasinya merupakan generasi cepat saji, pameran makanan bisa menjadi ajang yang baik untuk memperkenalkan pengunjung pada warisan nusantara.

“Penyelenggara bisa bekerja sama dengan banyak pihak, termasuk Kemenparekraf, pakar kuliner terkemuka, dan influencers. Saat perkenalan awal itu, pengunjung bisa langsung menikmati makanan daerah yang belum pernah mereka cicipi. Setelah itu, makanan bisa dijual dengan lebih masif. Tapi, perlu diimbangi produksi dan distribusi yang bagus agar harga makanan itu tetap terjangkau.”

Silvy mengingatkan, makanan komunitas adat boleh saja dikomersialkan. Asalkan, pemilik pengetahuan akan kuliner tersebut, yaitu Masyarakat Adat, tidak dikesampingkan dan tetap mendapatkan benefit.

“Ini kan pengetahuan mereka. Jangan sampai makanan kaya budaya seperti ini diklaim sebagai menu khas mereka oleh orang yang punya modal besar. Padahal, cara memasaknya sudah dimodifikasi mengikuti selera pasar, sehingga cita rasa aslinya tidak lagi terjaga,” pungkasnya.

Baca Juga: Hari Anak Nasional, Psikolog Ungkap Hubungan Permainan Tradisional dan Kesehatan Mental Anak

(*)

 



REKOMENDASI HARI INI

Ada Budi Pekerti, Ini 3 Film Indonesia Populer yang Bertema Guru