Bagi Putri, sebagai pelaku usaha batik, cara yang dilakukannya untuk membangkitkan semangat teman-teman perajin adalah dengan terus berinovasi melalui cara yang efektif. “Misalnya, kita sekarang batik handmade-nya yah enggak usah rapet-rapet motifnya. Cari yang model kekinian agar anak-anak muda mau pakai, daya beli kembali normal dan perajin (batik) juga jadi ada permintaan,” jelasnya.
Walau memang pada praktiknya, menyemangati para perajin batik untuk tetap berkarya bukanlah hal yang mudah. Terutama bagi para perajin batik sepuh yang kerap tak mengetahui perkembangan zaman dengan motif-motif yang lebih modern. Kendati menantang, namun hal tersebut tetap dilakukannya demi bisa melestarikan batik. “Karena kalau bukan kita, siapa lagi?” imbuh Putri.
Sementara itu, Nancy punya pandangan yang berbeda perihal cara mencegah regenerasi perajin batik terus tergerus. Menurutnya, penting untuk memberikan kebebasan bagi para pemuda atau pembatik generasi baru untuk mendefinisikan batik versi mereka sendiri, dalam arti tidak terlalu terikat dengan pakem-pakem yang ada.
“Batik itu kan sebetulnya macem-macem yah cara produksinya. Apakah dengan batik tulis, batik cap atau dengan batik sablon, printing, anything. Kalau kita mau konsisten dengan batik sebagai intellectual property, artinya kan dengan cara apapun dia diproduksi, itu harusnya batik itu tetap dirayakan,” harap Nancy.
Apa yang diharapkan oleh Nancy berawal dari anggapan sejumlah kelompok yang menilai bahwa batik sablon dan printing yang kini banyak tersedia di pasaran bukanlah batik yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan pandangan bahwa batik sablon dan printing tidak menggunakan malam atau lilin. Untuk diketahui, menurut situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang dikutip dari kompas.com, batik berasal dari bahasa Jawa 'ambatik'. Yaitu 'amba' yang bermakna menulis, dan 'titik' yang bermakna titik.
Nancy pun berharap tidak ada diskriminasi terhadap pembatik yang bukan batik tulis atau cap. “Kita memang harus menjaga tradisi, tetapi bukan berarti yang lain jadinya punya nilai rendah,” ujarnya lagi. Pasalnya menurut Nancy, hadirnya pembatik dengan metode printing maupun sablon adalah solusi yang muncul dari masyarakat pembatik itu sendiri guna mengefisienkan pembuatan batik.
Nancy menilai bahwa pembatik printing atau sablon adalah bagian dari perkembangan zaman dan produksi yang muncul secara organik dari komunitas pembatik itu sendiri. Ia juga percaya bahwa dengan merayakan semua bentuk batik, apapun proses pembuatannya, akan membuat semua senang memakai batik. “Jadi dengan begitu orang tidak ragu untuk memakai batik sesuai dengan apa yang dia bisa, kesanggupannya, affordability-nya, dengan kreasinya sendiri. Sehingga mereka tidak terintimidasi dan regenerasi batik bisa diteruskan,” harap Nancy.
Tentu saja, polemik di kalangan perajin batik itu sendiri masih menjadi hal yang terus diperdebatkan hingga kini. Namun, terlepas dari masalah itu, para perajin pun sepakat bahwa dibutuhkan kerja sama semua pihak untuk dapat melestarikan batik dari hulu hingga ke hilir, demi bisa mencegah kepunahan batik di masa depan.
Baca Juga: 5 Hidden Gem Museum Batik di Indonesia, Ada di Jakarta hingga Bali
Salah satunya seperti yang diharapkan Nancy bahwa ia ingin pekerjaan kreatif seperti yang dilakukan oleh para perajin juga bisa diapresiasi dengan baik. “Karena sebetulnya banyak sekali pekerjaan kreatif dengan tangan dan tidak selalu harus di kota, yang sangat menarik dan berharga. Menurut saya dengan tidak melulu menjual mimpi-mimpi perkotaan saja pada anak pedesaan, bisa menjadi sebuah solusi (regenerasi perajin batik),” imbuhnya.
Sementara itu, menurut Monique, ada dua cara yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk membantu menumbuhkan minat regenerasi pada perajin batik agar generasi mudanya punya keinginan untuk meneruskan. Disampaikan Monique, para generasi yang lebih tua yang memiliki buying power, punya peranan besar untuk mengadopsi wastra nusantara seperti batik dengan lebih bijak dalam kehidupan sehari-hari.
“Kita yang sebagai generasi yang lebih tua bertanggung jawab untuk memberikan contoh (kepada anak-anaknya), sehingga anak-anak yang melihat ibu atau nenek mereka senang memakai kain (batik) akan terbiasa dengan itu,” cerita Monique. Menurutnya, hal ini akan membuat ekonomi bergerak sehingga industri terus memproduksi batik.
“Mereka (pembatik) akan menghasilkan karya-karya terus. Makanya itu menjadi lebih sustain dari sisi bagaimana pembatik artisan di sana bisa lebih meng-encourage generasi di bawahnya, untuk yuk loh ini tuh orang semakin apresiatif karya-karya batik,” tambahnya lagi.
Bukan hanya dorongan dari generasi tua untuk membantu menggerakkan ekonomi, menurut Monique juga penting bagi generasi muda memengaruhi sesamanya. Menurutnya, apabila anak muda mengapresiasi karya batik yang diproduksi oleh pembatik daerah, juga bisa turut menggerakkan pembatik generasi muda untuk meneruskan apa yang telah dilakukan orang tuanya. Hal ini dikarenakan para pembatik muda melihat apresiasi dari anak-anak muda seumurannya.
“Sekarang tuh semua harus dua arah. Satu generasi jadi role model-nya, dan ada generasi yang dari anak-anak muda itu sendiri. Semua harus berjalan bersama-sama, tidak bisa sendiri. Enggak bisa memulai kalau tidak di-trigger dari semua sisi,” tutup Monique.
(*)