Parapuan.co - Sudah 13 tahun sejak batik ditetapkan sebagai warisan budaya Indonesia oleh UNESCO. UNESCO secara resmi telah menetapkan batik sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi (Masterpieces of the Oral and the Intangible Heritage of Humanity) milik Indonesia, sejak 2 Oktober 2009.
Sejak itu pulalah banyak dari kita akan bersuka cita dengan mengenakan pakaian batik aneka rupa. Bahkan, sejak ditetapkannya tanggal 2 Oktober sebagai Hari Batik Nasional, membuat penggunaan batik dalam kehidupan sehari-hari semakin terasa nyata. Berbagai instansi dan perusahaan mengharuskan para karyawannya untuk mengenakan batik pada hari-hari tertentu.
Selain itu, dari tua hingga muda, juga makin tampil dengan penuh percaya diri dan kebanggaan mengenakan salah satu wastra nusantara tertua di tanah air. Hal ini pun semakin mendekatkan masyarakat dengan batik, yang sebelumnya kerap diidentikan dengan ‘pakaiannya orang tua’ dan kuno menjadi lebih relevan dengan zaman serta terasa dekat pada generasi muda.
Bahkan, seperti disampaikan oleh Monique Hardjoko, pengamat wastra nusantara dan founder Rasa Wastra Indonesia, terjadi peningkatan minat terhadap batik di kalangan anak muda. Hal tersebut ia lihat dari semakin banyaknya tumbuh komunitas-komunitas berbasis budaya yang didirikan oleh anak muda itu sendiri, yang juga mendorong sebayanya untuk mengenakan wastra nusantara seperti batik.
“Banyak komunitas berkain anak muda. Nah sebetulnya ini fenomena positif yah. Mereka (generasi muda) juga jago-jago untuk mengombinasikan padu padan berkain, salah satunya pakai batik,” cerita Monique.
Menurut Monique, anak-anak muda ini sangat pandai dalam mengadopsi kain batik pada gaya yang lebih modern, misalnya dengan dipadupadankan bersama sneaker dan t-shirt, baik dipakai pada acara formal hingga kasual.
Bahkan menariknya lagi, tradisi berkain di kalangan anak muda kini tak hanya dilakukan oleh perempuan saja. Jika Kawan Puan perhatikan, kini makin banyak laki-laki yang dengan bangga turut melestarikan budaya berkain, salah satunya dengan mengenakan batik sebagai sarung.
Kendati kehidupan kita sehari-hari sudah semakin akrab dengan batik, bahkan generasi muda menjadikan batik sebagai tren yang menarik, namun nyatanya industri ini masih mengalami tantangan yang berat. Langkah-langkah untuk terus melestarikan batik pada generasi yang lebih muda terjegal dengan masalah regenerasi perajin yang mengalami penurunan.
Berdasarkan data Asosiasi Perajin dan Pengusaha Batik Indonesia (APPBI) yang dilansir dari kompas.id pada 2021, jumlah pembatik di Indonesia turun 80 persen selama pandemi Covid-19. Sebelum pandemi, jumlah pembatik mencapai 131.568 orang dan kini tinggal sekitar 26.000 orang. Adapun salah satu penyebabnya karena pandemi yang membuat daya beli terhadap wastra nusantara menurun dan membuat para perajin batik beralih profesi demi bertahan hidup.
Baca Juga: Yayasan Batik Indonesia Adakan Fashion Show Batik Terpanjang
Tuntutan Ekonomi dan Gengsi
Hal tersebut dirasakan oleh Putri Merdekawati, pemilik dari Batik Warna Alam Si Putri, yang berasal dari Semarang. Menurutnya, karena berkurangnya pemasukan saat pandemi, membuat perajin-perajin batik juga ikut menurun. “Perajin lepasan menurun dari sebelum pandemi. Jadi mereka ada yang alih profesi, jadi mereka cari kerjaan lain. Itu juga ada yang cari kerja yang menurut mereka lebih menjanjikan. Jadi sekarang saya sudah tidak bekerja sama dengan perajin batik lepasan, hanya perajin in-house,” ceritanya.
Saat ini, Putri bekerja sama dengan perajin batik in-house yang usianya sudah 40 tahun ke atas. Mereka berasal dari warga lokal di Semarang, Pekalongan, Wonogiri hingga Kendal.
Kesulitan melakukan regenerasi perajin batik terasa semakin berat bagi Putri, mengingat proses produksi yang dilakukannya menggunakan metode ramah lingkungan. Batik Warna Alam Si Putri menggunakan pewarna-pewarna alami, yang juga membutuhkan proses sangat panjang dan dengan tingkat kesulitan yang lebih rumit. “Terutama lagi seperti aku yang menggunakan warna alam. Dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi dan tekniknya yang lebih lama, jadi terkadang kalau perajinnya tidak sabar yah ditinggalkan,” cerita Putri.
Ada banyak faktor yang melatarbelakangi kesulitannya melakukan regenerasi perajin batik. Diceritakan oleh Putri, bahwa anggapan kuno pada perajin-perajin batik membuat sejumlah generasi muda enggan meneruskan pekerjaan orang tua atau keluarga mereka. “Jadi kaya anggapan kuno, terus juga tawaran bekerja lain yang menurut mereka lebih prestisius, pakai seragam, kaya orang kantoran,” keluhnya.
Tak hanya soal gengsi, sudut pandang soal ‘sukses secara instan’, menurut Putri juga menjadi penyebab para generasi muda lebih memilih profesi yang lain. “Tapi kan untuk membuat (batik) itu lama yah, nah sebenarnya mereka bisa aja (membatik). Tapi mereka pilih jadi content creator yang hasilnya cepat, instan. Budaya habit instan itu juga berpengaruh. Jadi mereka lebih suka dapat sesuatu yang besar dan cepat,” jelas Putri lagi.
Selain Putri, keluhan akan sulitnya menemukan perajin-perajin batik muda juga disampaikan oleh Nancy Margried, Co-founder dan CEO Batik Fractal. Sebagai informasi, Batik Fractal adalah tekstil batik modern buatan tangan yang terbuat dari perpaduan antara seni tradisional dan teknologi software jBatik untuk membuat pola batik terbaru. Batik Fractal bekerja sama dengan empat rumah batik dari Solo, Pekalongan, hingga Cirebon yang mempekerjakan perajin-perajin batik di daerah masing-masing.
Berdasarkan kisah Nancy, ia kerap menerima keluhan dari para partnernya bahwa ada penurunan perajin batik dari generasi muda. “Itu memang menurun. Karena pekerjaan membatik ini kan labour intensive. Pekerjaan tangan. Jadi mereka (generasi muda) kayaknya ada kecenderungan untuk memilih bekerja di perusahaan besar, instead of ngebatik di rumah batik,” ceritanya.
Salah satu alasannya adalah karena kini semakin banyak kehadiran pabrik-pabrik garmen di kampung-kampung batik. Sehingga ini menjadi magnet bagi generasi muda untuk menaruh nasib pekerjaannya di pabrik-pabrik besar.
Baca Juga: Hari Batik Nasional, Ini 5 Rekomendasi Fashion Item Sentuhan Batik yang Modis
Menurut pengamatan Nancy, bukan hanya alasan ekonomi yang membuat para generasi muda enggan menjadi perajin batik. Status sosial di masyarakat membuat para muda-mudi ini rela meninggalkan warisan leluhur mereka. “Latar belakangnya itu, ada kecenderungan gengsi untuk menjadi sebuah pekerja di sebuah perusahaan besar, misalnya yang berbentuk PT. Itu ada kecenderungan menjadi sebuah kebanggaan untuk mereka bekerja di sebuah perusahaan besar.
Di Tengah Ancaman Serius
Penting untuk diingat bahwa pelestarian batik bukan hanya perlu dilakukan di masyarakat agar lebih senang menggunakan batik. Tapi tak kalah esensial untuk mendorong generasi muda bukan hanya sebagai pengguna, tapi juga untuk menjadi pihak yang menciptakan dan mengkreasikan batik agar lebih lestari. Pasalnya, apabila regenerasi perajin batik kian mengalami kemunduran, akan berdampak pada keberlangsungan pelestarian batik itu sendiri.
“Keresahan kalau tidak ada lagi generasi penerus, yah pastinya siap-siap aja predikat World Heritage itu bisa diambil dari Indonesia. Karena kan salah satu persyaratan itu harus ada yang meregenerasi,” cemas Putri. Ia khawatir, para perajin batik akan semakin habis karena saat ini komunitas perajin didominasi oleh generasi tua. “Jarang banget perajin yang masih muda-muda,” tambahnya.
Jika tak terjadi regenerasi perajin batik juga meningkatkan kemungkinan produsen besar untuk mengambil alih produksi. “Kalau demand-nya masih tinggi dan regenerasi tidak terjadi, ini akan beralih ke pabrik. Enggak mungkin pengusaha mendiamkan demand besar ini tidak ditanggapi. Baik pabrik Indonesia atau pabrik dari luar negeri. Pasar akan menentukan akhirnya,” ujar Nancy.
Namun ancaman lebih serius yang juga bisa terjadi ketika tak ada permintaan dan dibarengi dengan regenerasi perajin batik yang menurun, maka batik bukan hanya akan dicabut statusnya sebagai Warisan Kemanusiaan untuk Budaya Lisan dan Nonbendawi oleh UNESCO, tapi juga bisa berakhir menjadi fosil atau bahkan punah. Atau bahkan batik hanya bisa kita lihat di museum-museum saja.
Lantas, sudah siapkah kita dengan kemungkinan punah atau hilangnya batik jika regenerasi perajin tak bisa dilakukan?
Memupuk Semangat Regenerasi
Menumbuhkan semangat kepada generasi muda untuk jadi penerus perajin batik tentunya tak semudah membalikkan telapak tangan. Banyak pihak dan waktu yang cukup panjang untuk bisa meyakinkan mereka pentingnya melestarikan batik, bukan hanya di hilir, tapi juga di hulu, yaitu para perajinnya itu sendiri.
Baca Juga: Hari Batik Nasional, Kenali 6 Motif Batik dari Berbagai Daerah
Bagi Putri, sebagai pelaku usaha batik, cara yang dilakukannya untuk membangkitkan semangat teman-teman perajin adalah dengan terus berinovasi melalui cara yang efektif. “Misalnya, kita sekarang batik handmade-nya yah enggak usah rapet-rapet motifnya. Cari yang model kekinian agar anak-anak muda mau pakai, daya beli kembali normal dan perajin (batik) juga jadi ada permintaan,” jelasnya.
Walau memang pada praktiknya, menyemangati para perajin batik untuk tetap berkarya bukanlah hal yang mudah. Terutama bagi para perajin batik sepuh yang kerap tak mengetahui perkembangan zaman dengan motif-motif yang lebih modern. Kendati menantang, namun hal tersebut tetap dilakukannya demi bisa melestarikan batik. “Karena kalau bukan kita, siapa lagi?” imbuh Putri.
Sementara itu, Nancy punya pandangan yang berbeda perihal cara mencegah regenerasi perajin batik terus tergerus. Menurutnya, penting untuk memberikan kebebasan bagi para pemuda atau pembatik generasi baru untuk mendefinisikan batik versi mereka sendiri, dalam arti tidak terlalu terikat dengan pakem-pakem yang ada.
“Batik itu kan sebetulnya macem-macem yah cara produksinya. Apakah dengan batik tulis, batik cap atau dengan batik sablon, printing, anything. Kalau kita mau konsisten dengan batik sebagai intellectual property, artinya kan dengan cara apapun dia diproduksi, itu harusnya batik itu tetap dirayakan,” harap Nancy.
Apa yang diharapkan oleh Nancy berawal dari anggapan sejumlah kelompok yang menilai bahwa batik sablon dan printing yang kini banyak tersedia di pasaran bukanlah batik yang sebenarnya. Hal ini dikarenakan pandangan bahwa batik sablon dan printing tidak menggunakan malam atau lilin. Untuk diketahui, menurut situs resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) yang dikutip dari kompas.com, batik berasal dari bahasa Jawa 'ambatik'. Yaitu 'amba' yang bermakna menulis, dan 'titik' yang bermakna titik.
Nancy pun berharap tidak ada diskriminasi terhadap pembatik yang bukan batik tulis atau cap. “Kita memang harus menjaga tradisi, tetapi bukan berarti yang lain jadinya punya nilai rendah,” ujarnya lagi. Pasalnya menurut Nancy, hadirnya pembatik dengan metode printing maupun sablon adalah solusi yang muncul dari masyarakat pembatik itu sendiri guna mengefisienkan pembuatan batik.
Nancy menilai bahwa pembatik printing atau sablon adalah bagian dari perkembangan zaman dan produksi yang muncul secara organik dari komunitas pembatik itu sendiri. Ia juga percaya bahwa dengan merayakan semua bentuk batik, apapun proses pembuatannya, akan membuat semua senang memakai batik. “Jadi dengan begitu orang tidak ragu untuk memakai batik sesuai dengan apa yang dia bisa, kesanggupannya, affordability-nya, dengan kreasinya sendiri. Sehingga mereka tidak terintimidasi dan regenerasi batik bisa diteruskan,” harap Nancy.
Tentu saja, polemik di kalangan perajin batik itu sendiri masih menjadi hal yang terus diperdebatkan hingga kini. Namun, terlepas dari masalah itu, para perajin pun sepakat bahwa dibutuhkan kerja sama semua pihak untuk dapat melestarikan batik dari hulu hingga ke hilir, demi bisa mencegah kepunahan batik di masa depan.
Baca Juga: 5 Hidden Gem Museum Batik di Indonesia, Ada di Jakarta hingga Bali
Salah satunya seperti yang diharapkan Nancy bahwa ia ingin pekerjaan kreatif seperti yang dilakukan oleh para perajin juga bisa diapresiasi dengan baik. “Karena sebetulnya banyak sekali pekerjaan kreatif dengan tangan dan tidak selalu harus di kota, yang sangat menarik dan berharga. Menurut saya dengan tidak melulu menjual mimpi-mimpi perkotaan saja pada anak pedesaan, bisa menjadi sebuah solusi (regenerasi perajin batik),” imbuhnya.
Sementara itu, menurut Monique, ada dua cara yang bisa dilakukan oleh masyarakat untuk membantu menumbuhkan minat regenerasi pada perajin batik agar generasi mudanya punya keinginan untuk meneruskan. Disampaikan Monique, para generasi yang lebih tua yang memiliki buying power, punya peranan besar untuk mengadopsi wastra nusantara seperti batik dengan lebih bijak dalam kehidupan sehari-hari.
“Kita yang sebagai generasi yang lebih tua bertanggung jawab untuk memberikan contoh (kepada anak-anaknya), sehingga anak-anak yang melihat ibu atau nenek mereka senang memakai kain (batik) akan terbiasa dengan itu,” cerita Monique. Menurutnya, hal ini akan membuat ekonomi bergerak sehingga industri terus memproduksi batik.
“Mereka (pembatik) akan menghasilkan karya-karya terus. Makanya itu menjadi lebih sustain dari sisi bagaimana pembatik artisan di sana bisa lebih meng-encourage generasi di bawahnya, untuk yuk loh ini tuh orang semakin apresiatif karya-karya batik,” tambahnya lagi.
Bukan hanya dorongan dari generasi tua untuk membantu menggerakkan ekonomi, menurut Monique juga penting bagi generasi muda memengaruhi sesamanya. Menurutnya, apabila anak muda mengapresiasi karya batik yang diproduksi oleh pembatik daerah, juga bisa turut menggerakkan pembatik generasi muda untuk meneruskan apa yang telah dilakukan orang tuanya. Hal ini dikarenakan para pembatik muda melihat apresiasi dari anak-anak muda seumurannya.
“Sekarang tuh semua harus dua arah. Satu generasi jadi role model-nya, dan ada generasi yang dari anak-anak muda itu sendiri. Semua harus berjalan bersama-sama, tidak bisa sendiri. Enggak bisa memulai kalau tidak di-trigger dari semua sisi,” tutup Monique.
(*)