Parapuan.co - Kawan Puan, setiap tanggal 17 Oktober diperingati sebagai Hari Ulos Nasional.
Hari besar ini telah diresmikan sejak ulos ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan sebagai salah satu warisan budaya tak benda Indonesia pada 17 Oktober 2014.
Satu tahun berselang yakni pada 2015, Kemendikbud menetapkan tanggal 17 Oktober sebagai Hari Ulos Nasional.
Di sisi lain, seperti apa sejarah dari kain tradisional asal Sumatera Utara ini?
Dilansir dari laman resmi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI, berikut sejarah ulos.
Sejarah ulos
Ulos merupakan mahakarya Indonesia yang berasal dari salah satu peradaban tertua di Asia sejak 4.000 tahun lalu, yaitu kebudayaan Batak.
Bahkan, diketahui ulos telah ada jauh sebelum bangsa Eropa mengenal tekstil.
Kain tradisional ini merupakan simbol adat yang dinilai sakral, dan digunakan oleh orang Batak saat upacara adat, pernikahan, hingga kematian.
Baca Juga: Usung Budaya Batak, Pagelaran Ethnic and Harmony Tonjolkan Keindahan Kain Ulos
Jika merunut sejarahnya, ulos secara harfiah berarti selimut, karena dahulunya ulos digunakan oleh nenek moyang suku Batak untuk penghangat badan.
Mengingat, suku Batak kala itu tinggal di kawasan pegunungan, sehingga ulos pun menjadi simbol kehangatan bagi suku Batak.
Menurut pandangan suku Batak, terdapat tiga unsur yang menjadi dasar dalam kehidupan manusia, yakni darah, napas, dan panas.
Darah dan napas merupakan pemberian Tuhan, tapi tidak dengan unsur panas.
Menurut suku Batak, panas matahari belum cukup untuk mengikis udara dingin. Alhasil, ulos menjadi salah satu sumber panas bagi suku Batak, selain matahari dan api.
Lambat laun, ulos pun menjadi kebutuhan primer yang sangat penting dan bukan lagi sekadar kain penghangat tubuh.
Ulos menjadi kain yang melambangkan ikatan kasih sayang antara orang tua dan anak-anaknya atau antara satu orang dengan orang lain.
Makna tersebut sesuai dengan filsafat Batak, yakni “Ijuk pengihot ni hodong. Ulos penghit ni halong,” yang berarti ijuk pengikat pelepah pada batangnya dan ulos pengikat kasih sayang di antara sesama.
Adat Mangulosi
Baca Juga: Regenerasi Perajin Ulos Menurun, Pameran Tenun Batak Diadakan
Mengingat tingginya nilai ulos bagi kehidupan, dibuatlah aturan adat yang mengawali akar filosofinya, disebut ritual Mangulosi atau memberikan ulos.
Mangulosi merupakan bentuk pemberian restu dan kasih sayang dari orangtua kepada anak-anaknya.
Dilansir dari Kompas.com, proses mangulosi biasanya menjadi salah satu bagian dari rangkaian upacara pernikahan adat Batak.
Sejarawan JJ Rizal menjelaskan, dalam sejarah suku Batak, ulos berperan sebagai “jembatan” bagi setiap marga untuk mengenal leluhurnya.
"Ulos itu sebenarnya, 'buku sejarah' dari orang Batak, ulos bisa menjelaskan dia itu siapa dan turun dari silsilah yang mana," kata JJ Rizal.
Lebih jauh, ulos juga bisa bermakna seperti lorong waktu dalam pernikahan.
Pasalnya, ulos yang disematkan juga membawa cerita, petuah, serta nilai-nilai dari leluhur yang kemudian diturunkan kepada penerimanya.
"(Ulos) menjadi simbol penerimaan sekaligus penurunan nilai-nilai. Jangan heran pas pernikahan adat Batak, ada puluhan ulos yang disematkan dari berbagai marga yang ada. Setiap suku di rumpun Batak pasti desainnya berbeda," ujar JJ Rizal.
Baca Juga: Rayakan Hari Ulos, Begini Sepak Terjang Kain Tenun Ulos di 2021
(*)