Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Bahasa Melayu pula menjadi unsur yang memberanikan para perempuan di masa penjajahan untuk menyuarakan isu kesetaraan dengan kaum lelaki: kesetaraan dalam memperoleh pendidikan, kesetaraan dalam hubungan pernikahan, hak untuk tidak dipoligami, dan terhindar dari kekerasan.
Bahasa Pemersatu Perempuan di Era Digital
Dulu, di masa kolonial, penyampaian isu-isu perempuan terkendala oleh bahasa lokal sehingga mengkhususkan perempuan untuk belajar bahasa Melayu.
Kini, teknologi dapat menerjemahkan beragam bahasa menjadi lingua franca warganet dalam hitungan detik.
Maka saat Tarana Burke mengumandangkan sebuah gerakan digital #MeToo untuk melawan pelecehan seksual terhadap perempuan keturunan Afrika-Amerika, ‘bahasa’ pergerakan ini bukan hanya tentang pergerakan perempuan kelompok tertentu.
Sekalipun gerakan ini bermula dari menggunakan bahasa Inggris, makna gerakan ini dimengerti secara universal menjadi sebuah bahasa pergerakan perempuan global di ruang virtual untuk berani bercerita dan melawan kekerasan seksual yang dialami perempuan.
Apa yang terjadi pada Mahsa Amini di Iran bukan lagi sekedar kekerasan kepolisian terhadap perempuan di negara tersebut.
Mahsa Amini berubah menjadi simbol global bagi para perempuan untuk bebas dari tekanan rezim pemerintahan yang mencoba untuk mengontrol tubuh perempuan.
Baca Juga: 5 Rekomendasi Film Indonesia di Netflix untuk Rayakan Hari Sumpah Pemuda
Beramai-ramai perempuan dari penjuru dunia ikut melancarkan aksi protes yang mengakibatkan kematian Mahsa Amini lewat postingan media sosial.