Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Selamat Hari Sumpah Pemuda…dan Pemudi!
Kongres Pemuda II yang dilangsungkan pada 28 Oktober 1928 silam memang mayoritas diikuti oleh pemuda (laki-laki).
Namun kehadiran para pemudi (perempuan) juga tercatat sebagai peserta kongres. Bahkan tiga orang di antara 10 peserta perempuan tersebut turut menjadi pembicara utama.
Dalam buku Wage Rudolf Supratman yang ditulis oleh Bambang Sularto (1985) menyebutkan, Supratman memuji Poernomowulan yang kala itu mewakili organisasi Jong Java (ada pula yang menyebut perwakilan Taman Siswa) sebagai seorang perempuan dengan pengabdian sangat besar demi memajukan pendidikan bagi generasi muda pribumi (Indonesia).
Mengutip dari laman Historia, Poernomowulan menjadi pembicara yang paling pertama tampil dan langsung mengemukakan tentang pentingnya mengajarkan baca-tulis untuk mendidik pemuda Indonesia agar mampu membangun peradaban di tanah airnya sendiri.
Selain Poernomowulan, dua perempuan lain yang menjadi pembicara dalam kongres adalah Siti Soendari yang merupakan adik dari dr. Soetomo (pendiri organisasi Budi Utomo), dan Emma Poeradiredja yang merupakan pendiri organisasi Istri Pasundan.
Mardanas Safwan (2009) yang menyusun buku Peranan Gedung Kramat Raya 106 Dalam Melahirkan Sumpah Pemuda mencatat, Siti Soendari berpidato tentang pentingnya sosialisasi politik dan pendidikan diberikan tidak hanya kepada laki-laki, melainkan juga kepada perempuan agar perempuan turut aktif dalam menyokong pergerakan demi kemuliaan negara.
Baca Juga: Diperingati Setiap 28 Oktober, Ini Isi dan Makna Teks Sumpah Pemuda
Pandangan-pandangan yang dikemukakan oleh para perempuan peserta Kongres Pemuda II ini akhirnya menyulut kesadaran tentang pentingnya untuk membuat suatu kongres khusus yang membahas tentang isu-isu perempuan.
Dua bulan berselang setelah Deklarasi Sumpah Pemuda, para perempuan dari beragam organisasi kepemudaan lainnya menggelar Kongres Perempuan yang digelar di Yogyakarta pada tanggal 22 Desember 1928.
Bahasa Melayu yang Membahasakan Isu-Isu Perempuan
Ada yang menarik pada penyelenggaraan Kongres Perempuan yang dihelat tak lama setelah pendeklarasian Sumpah Pemuda.
Salah satu poin yang menjadi sumpah adalah tentang penggunaan Bahasa Indonesia (dari bahasa Melayu) sebagai bahasa pemersatu.
Menurut sejarawan Galuh Ambar Sasi dari Universitas Kristen Satya Wacana, para perempuan yang ikut serta dalam Kongres Perempuan berasal dari beragam daerah dan organisasi yang masih sangat kental dengan bahasa lokalnya.
Salah satu penggagas Kongres Perempuan, Johanna Masdani Tumbuan, mengajak para perempuan untuk belajar dan bicara bahasa Melayu dengan menyewa guru yang dapat mengajarkan bahasa tersebut.
Penggunaan bahasa Melayu bukan hanya sebagai bentuk pelaksanaan Sumpah Pemuda yang menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan
Tapi, bahasa Melayu juga sebagai bahasa utama yang memudahkan para perempuan Indonesia dari berbagai daerah untuk dapat berkomunikasi dan membahas masalah-masalah perempuan.
Akhirnya setelah penyelenggaraan Kongres Perempuan itu pula, para perempuan tersebut menjadi agen penyebaran bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan di seluruh Indonesia, dan kemudian menjadikan bahasa Melayu sebagai bahasa utama dalam kongres perempuan yang diadakan berikutnya.
Baca Juga: Mengenal Sosok dan Peran 3 Tokoh Perempuan Penting di Balik Sumpah Pemuda
Bahasa Melayu menjadi lingua franca yang digunakan para perempuan pada masa itu untuk menyuarakan isu-isu perempuan, baik dalam kongres serta dalam tulisan-tulisan di surat kabar.
Bahasa Melayu pula menjadi unsur yang memberanikan para perempuan di masa penjajahan untuk menyuarakan isu kesetaraan dengan kaum lelaki: kesetaraan dalam memperoleh pendidikan, kesetaraan dalam hubungan pernikahan, hak untuk tidak dipoligami, dan terhindar dari kekerasan.
Bahasa Pemersatu Perempuan di Era Digital
Dulu, di masa kolonial, penyampaian isu-isu perempuan terkendala oleh bahasa lokal sehingga mengkhususkan perempuan untuk belajar bahasa Melayu.
Kini, teknologi dapat menerjemahkan beragam bahasa menjadi lingua franca warganet dalam hitungan detik.
Maka saat Tarana Burke mengumandangkan sebuah gerakan digital #MeToo untuk melawan pelecehan seksual terhadap perempuan keturunan Afrika-Amerika, ‘bahasa’ pergerakan ini bukan hanya tentang pergerakan perempuan kelompok tertentu.
Sekalipun gerakan ini bermula dari menggunakan bahasa Inggris, makna gerakan ini dimengerti secara universal menjadi sebuah bahasa pergerakan perempuan global di ruang virtual untuk berani bercerita dan melawan kekerasan seksual yang dialami perempuan.
Apa yang terjadi pada Mahsa Amini di Iran bukan lagi sekedar kekerasan kepolisian terhadap perempuan di negara tersebut.
Mahsa Amini berubah menjadi simbol global bagi para perempuan untuk bebas dari tekanan rezim pemerintahan yang mencoba untuk mengontrol tubuh perempuan.
Baca Juga: 5 Rekomendasi Film Indonesia di Netflix untuk Rayakan Hari Sumpah Pemuda
Beramai-ramai perempuan dari penjuru dunia ikut melancarkan aksi protes yang mengakibatkan kematian Mahsa Amini lewat postingan media sosial.
Salah satunya adalah gerakan memotong rambut yang dilakukan oleh sejumlah aktris Prancis.
Pengalaman perempuan telah menjadi sebuah bahasa universal yang dimengerti, dirasai, dan dimaknai dengan arti yang sama oleh semua perempuan, dan oleh semua pendukung gerakan perempuan, di dunia.
Internet (utamanya platform media sosial) semakin memudahkan penyebaran dan menguatkan pemaknaan pengalaman perempuan, serta memberikan akses hampir tanpa batas kepada penggunanya untuk ikut terlibat dalam pembicaraan pengalaman perempuan tersebut.
‘Bahasa’ Bagi Perjuangan Perempuan di Era Digital
Internet dan media sosial telah menjadi corong amplifikasi gerakan perempuan agar dapat terdengar dan menjangkau banyak pihak secara global.
Namun internet juga seperti pedang bermata dua yang menjadi ruang tak aman bagi perempuan ketika membahasakan persoalannya.
Dalam Catatan Tahunan Komnas Perempuan (Catahu), kasus kekerasan berbasis gender online (KBGO) di Indonesia meningkat tajam sejak tahun 2019 (281 kasus) menjadi 942 kasus (2020) dan membludak di tahun 2021 sebanyak 1.721 kasus.
Lebih lanjut Southeast Asia Freedom of Expression Network (SAFEnet) mengungkapkan, bentuk KBGO yang kerap terjadi pada perempuan antara lain seperti pelanggaran privasi, penyebaran data pribadi, penguntitan daring, pencemaran nama baik, hingga peretasan.
Namun bagaimanapun juga, ruang virtual masih tetap menjadi salah satu medium kebebasan yang dapat memberikan akses luas pada perempuan untuk membahasakan kepentingan-kepentingannya, dan menggalang kesadaran banyak pihak untuk ikut dalam perjuangan perempuan.
Baca Juga: Jarang Diketahui, Ini Peran Perempuan dalam Lahirnya Hari Sumpah Pemuda
Ada tiga bentuk ‘bahasa’ yang dapat disampaikan perempuan lewat media sosial untuk memperjuangkan hak-haknya ketika mengalami ketidakadilan
Lawan! Adalah salah satu upaya yang tetap harus dilakukan oleh perempuan ketika menghadapi ketidakadilan. Tidak ada satupun perjuangan kecil yang tidak akan bergema ketika disebarkan oleh ratusan bahkan hingga jutaan jejaring di media sosial.
Lapor! Jangan pernah takut untuk memberitahukan pengalaman kekerasan yang dialami. Sebab diam tidak akan pernah membuat kekerasan terhadap perempuan berhenti. Sebaliknya akan memperburuk situasi sebab pelaku kejahatan terhadap perempuan semakin berani menyakiti.
Layangkan! Bagikan pengalamanmu untuk bisa menginspirasi banyak perempuan lainnya agar berani untuk melawan ketidakadilan dan memperjuangkan hak-hak perempuan.
Ayo kita berani bersuara, Kawan Puan! Jangan sampai perjuangan ini berhenti di kamu. (*)