Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Bahkan aturan-aturan tersebut ikut menyertakan perlindungan terhadap kelompok perempuan rentan seperti anak-anak, lansia, dan disabilitas.
Lebih jauh, KUHP juga menekankan pada consent (persetujuan) kedua belah pihak dalam melakukan hubungan seksual.
Apabila salah satu pihak merasakan adanya paksaan atau ketimpangan kuasa saat melakukan seks, tindakan tersebut dapat dikategorikan sebagai perkosaan.
KUHP pun memperluas definisi tindakan perkosaan juga meliputi seks oral dan penetrasi ke dalam anus yang dipaksakan, sehingga tindakan pemaksaan hubungan seks tidak terbatas hanya pada penetrasi penis ke dalam vagina.
Melihat dari pasal-pasal KUHP yang berkaitan dengan kejahatan seksual terhadap perempuan, KUHP dan UU TPKS sebenarnya saling menguatkan.
Namun pasal-pasal lain dalam KUHP berpotensi multitafsir dan bisa sangat merugikan perempuan, terutama terkait kebebasan berekspresi perempuan terhadap tubuh dan sistem reproduksinya.
Pasal-pasal KUHP yang disinyalir dapat berimplikasi buruk terhadap kebebasan perempuan antara lain:
- Pasal 2 ayat (2) dan 96 yang memperbolehkan penerapan pidana ketika terjadi pelanggaran adat dan tradisi di wilayah tertentu.
Adat dan budaya Indonesia yang sangat kental dengan tradisi patriarki telah menjadi instrumen pengekangan kebebesan perempuan.
Tradisi patriarki ini dilegalkan lewat peraturan daerah (perda) diskriminatif yang kian menguatkan objektifikasi terhadap tubuh perempuan.