Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
- Pasal-pasal yang memuat ketentuan tentang penyebaran konten lewat perangkat teknologi informasi.
Social media is one of women’s besties.
Keberhasilan gaung gerakan #MeToo secara global adalah salah satu contoh bahwa gerakan sosial-politik-budaya perempuan di era digital tidak lepas dari konsumsi, produksi, dan distribusi informasi yang dimasifkan di ruang virtual.
Internet, utamanya melalui platform media sosial, adalah ruang bagi perempuan untuk menyuarakan kepentingan politiknya, sekaligus sebagai salah satu kanal untuk menggalang dukungan dan mendiskusikan isu-isu perempuan yang sulit dibicarakan secara offline.
Merupakan ancaman terhadap keberlangsungan gerakan-gerakan perempuan jika kebetulan persoalan terkait perempuan yang dibangun secara virtual tersebut bersinggungan dan dianggap merusak nama baik penguasa umum (presiden/wakil presiden, pejabat negara, pejabat daerah, lembaga negara).
Sebagai contoh, penggalangan gerakan lewat media sosial untuk melakukan cancel culture kepada seorang anak pejabat daerah yang melakukan pelecehan seksual di media sosial.
Korban yang melaporkan tindakan si anak pejabat tersebut berpotensi dijerat lewat Pasal 247.
Bila demikian, gerakan-gerakan perempuan akan jadi mati seketika karena korban dan para pendukungnya dibayang-bayangi hukuman penjara.
Padahal tujuan pelaporan tersebut adalah sebagai salah satu cara untuk membagikan pengalaman perempuan, sekaligus merupakan gerakan politis dalam melawan kejahatan seksual.
Jika belum apa-apa sudah diintimidasi dengan pelanggaran hukum pidana, maka akan banyak perempuan yang meninggalkan aktivitas politiknya di media sosial dan memutuskan chill out (berhenti menggunakan media sosial) dalam memperjuangkan aspirasi politik di ruang virtual (Zeiter, et all., Tweets that Chill: Analyzing Online Violence Against Women in Politics, 2019).
Kebutuhan Perempuan yang Tidak Termuat dalam KUHP
Pengesahan KUHP terbaru tidak sepenuhnya menjamin hak-hak perempuan secara politik, sosial, dan budaya.
Beberapa aturan terkait kebebasan perempuan dalam mengakses informasi dan keputusan yang terkait dengan organ reproduksi masih belum diakomodasi dalam KUHP ini.
Kebebasan berekspresi, berpendapat, dan pemanfaatan teknologi informasi sebagai salah satu medium penyampaian saran dan kritik juga dibayang-bayangi dengan hukuman bui.
Bukan hanya ancaman penjara, beropini di media sosial pun bisa berpotensi mendapat serangan buzzer pendukung rezim pemerintah.
Bahkan perempuan yang berpolitik pun dapat mengalami gendered disinformation, yakni suatu upaya untuk menyudutkan perempuan lewat narasi-narasi seksis dan bias gender.
Pembahasan KUHP yang sudah 59 tahun tidak sepadan dengan produk akhir yang disahkan.
Terbukti masih begitu banyak pasal karet dan justru malah mengancam esensi paling penting dari sebuah negara yang menjalankan demokrasi.
Sosialisasi yang dilakukan sejak 2019 pun tidak memasukkan pertimbangan-pertimbangan dan masukan dari para ahli dan warga negara.
KUHP menjadi produk yang penuh dengan pertentangan dan tidak sepenuhnya menjamin kemerdekaan berdemokrasi rakyat Indonesia.
Padahal seharusnya bisa menjadi kitab hukum orisinal pertama yang patut dirayakan. (*)