Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Itu cerita sekitar satu dekade lalu. Bias prestasi yang dicapai para mahasiswi, terbentuk oleh faktor kultural yang terselubung sebagai mitos.
Mitos yang didekap erat: Mahasiswi pintar bakal kesulitan menemukan pasangan hidup karena mitra gendernya tak nyaman diungguli.
Maka jalan yang harus ditempuh, dengan menurunkan prestasi yang dapat diraih. Itu semua demi pencapaian hidup, yang lebih hakiki.
Baca Juga: Review Film Inang, Perjuangan Perempuan di Kota Besar dalam Balutan Mitos Lokal
Berubahkah keadaan itu?
Hari ini, di tengah maraknya pemanfaatan teknologi digital, termasuk di dalamnya pengembangan artificial intelligence (AI), kesenjangan gender tak hanya dilanggengkan oleh aspek kultural, serupa mitos di atas.
Didasari laporan World Economic Forum, Gabriela Ramos, 2022, Asisten Direktur untuk Ilmu Sosial dan Humaniora UNESCO, melalui tulisannya, “Why We Must Act Now to Close the Gender Gap in AI?”, menyebut terjadinya kesenjangan gender itu.
Dalam ranah AI, kesenjangan disebabkan oleh rendahnya peran perempuan pada tiap tahap siklus hidup AI.
Hal ini berpengaruh pada sistem ekonomi maupun teknologi. Suatu keadaan yang sangat tak adil, di zaman digitalisasi berkembang pesat.