Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Pada sebuah acara peluncuran buku yang diadakan oleh sebuah kampus, sekitar 10 tahun lalu, Profesor Mayling Oey-Gardiner menceritakan pengalamannya menyaksikan pencapaian belajar mahasiswa vs. mahasiswi di ruang-ruang kelasnya.
Pada tahun pertama perkuliahan, tutur Prof. Mayling, mahasiswi lebih unggul dibanding mahasiswa. Ini terjadi konsisten di beberapa angkatan.
Peraih indeks prestasi (IP) di atas 3,5, lebih banyak diraih mahasiswi.
Kalau pun ada mahasiswa, jumlahnya bisa dihitung dengan jari tangan. Kurang dari 10 di antara 40-an peserta perkuliahan.
Di tahun ke-2, posisi masih diungguli mahasiswi tapi jumlahnya menyusut. Sementara prestasi mahasiswa tak beranjak. Tak memburuk juga tak melonjak.
Lalu di tahun ke-3, makin sedikit saja mahasiswi yang meraih angka IP di atas 3,5.
Ini konsisten dengan yang terjadi di tahun ke-4, saat para peserta perkuliahan mengakhiri masa belajar jenjang sarjana.
Para mahasiswa sendiri tak juga mengisi posisi prestasi yang ditinggalkan para mahasiswi. Kalau pun ada, jumlahnya tak menonjol.
Kejadian yang dihadapi ini menarik. Muncul pertanyaan di benak Sang Profesor.
Apakah mahasiswi mengalami penurunan kepintaran seiring pertambahan tahun belajar?
Sebagai guru besar yang mendalami masalah ekonomi dan demografi, soal prestasi antar gender tak luput dari perhatiannya.
Sebab hal itu menyangkut pencapaian kesejahteraan, saat kelak para peserta perkuliahan itu membentuk keluarga.
Profesor Mayling Oey melakukan penyelidikan. Dia mewawancarai mahasiswa dan mahasiswinya.
Pertanyaannnya menyangkut banyak hal, mulai cara belajar, jumlah jam belajar, pola belajar, pencapaian yang hendak diraih saat masa pendidikannya berakhir, hingga kecukupan gizi para peserta perkuliahan.
Hasil yang diperoleh Prof. Mayling mengagetkan.
Menurunnya prestasi yang terindikasi dari capaian IP di setiap akhir tahun ajaran, ternyata merupakan kesengajaan.
Ini bagian dari taktik! Para mahasiswi sengaja menurunkan IP yang diraihnya, dengan berbagai cara.
Menjawab ujian, namun bukan dengan jawaban yang terbaik; terlambat mengumpulkan tugas, sehingga terjadi pengurangan nilai oleh dosen pengampu; bahkan mengurangi keaktifan di kelas, melancarkan sikap pasif.
Yang ketika seluruh tindakan itu diakumulasi sebagai nilai, hasilnya turun. IP yang diraih mahasiswi bahkan bisa lebih rendah dari para mahasiswa.
Akan halnya para mahasiswa, kalau pun prestasinya nampak beranjak menyaingi mahasiswi, jumlahnya tak sampai membalik keadaan.
Prestasi mereka tak lalu menggantikan tempat yang ditinggalkan para mahasiswi.
Para mahasiswa masih tetap dengan kekhasannya, menikmati kuliah seraya menjalani kehidupan yang beragam. Tak semata belajar, enggan berkutat dengan buku diktat.
Baca Juga: Baru Lancar Baca Tulis Kelas 6 SD, Mahasiswi UNY Berhasil Lulus dengan IPK 3,93
Masih tersisa pertanyaan besar bagi Sang Guru Besar.
Apa motivasi para mahasiswi menurunkan capaian prestasinya?
Jawaban yang didapatkan tak kurang mengagetkannya.
Mahasiswi mempersepsi, dengan IP yang terpaut tinggi dengan mahasiswa, akan sulit memperoleh teman, pacar, bahkan calon pasangan hidup.
Dalam pandangan para mahasiswi, para mahasiswa tak nyaman bergaul dengan mahasiswi cerdas dan tekun belajar.
Entah dari mana kebijakan ini diperoleh. Yang jelas, agar IPnya tak lebih tinggi dari para mahasiswa, mereka sengaja menurunkannya. Itu adalah taktik yang harus dilakukan.
Itu cerita sekitar satu dekade lalu. Bias prestasi yang dicapai para mahasiswi, terbentuk oleh faktor kultural yang terselubung sebagai mitos.
Mitos yang didekap erat: Mahasiswi pintar bakal kesulitan menemukan pasangan hidup karena mitra gendernya tak nyaman diungguli.
Maka jalan yang harus ditempuh, dengan menurunkan prestasi yang dapat diraih. Itu semua demi pencapaian hidup, yang lebih hakiki.
Baca Juga: Review Film Inang, Perjuangan Perempuan di Kota Besar dalam Balutan Mitos Lokal
Berubahkah keadaan itu?
Hari ini, di tengah maraknya pemanfaatan teknologi digital, termasuk di dalamnya pengembangan artificial intelligence (AI), kesenjangan gender tak hanya dilanggengkan oleh aspek kultural, serupa mitos di atas.
Didasari laporan World Economic Forum, Gabriela Ramos, 2022, Asisten Direktur untuk Ilmu Sosial dan Humaniora UNESCO, melalui tulisannya, “Why We Must Act Now to Close the Gender Gap in AI?”, menyebut terjadinya kesenjangan gender itu.
Dalam ranah AI, kesenjangan disebabkan oleh rendahnya peran perempuan pada tiap tahap siklus hidup AI.
Hal ini berpengaruh pada sistem ekonomi maupun teknologi. Suatu keadaan yang sangat tak adil, di zaman digitalisasi berkembang pesat.
Dalam penjelasan lanjutannya, kebangkitan pemanfaatan teknologi digital yang diakselerasi oleh Pandemi Covid-19, ternyata tak merata pada masing-masing gender.
Perempuan terutama di negara-negara yang berpenghasilan rendah, terbatas aksesnya hingga lebih rendah 16% dibanding laki-laki pada pemanfaatan teknologi digital.
Implikasi kesenjangan itu terlihat pada pencapaian perekonomian di negara bersangkutan.
Yang pada gilirannya, makin menekan perempuan untuk punya kesempatan yang sama dalam memanfaatkan perkembangan teknologi.
Aspek struktural jadi penyebab kesenjangan itu.
Baca Juga: Bias Algoritma dan Peminggiran Perempuan dari Arena Teknologi
Melanjutkan penjelasannya, dengan memanfaatkan data World Economic Forum, 2022, Gabriela Ramos mengutip presentase lulusan laki-laki dalam teknologi informasi dan komunikasi, yaitu 400% lebih tinggi dibanding perempuan.
Sedangkan di dunia kerja, hanya 1 dibanding 3 pekerja laki-laki di bidang teknologi yang dijalankan perempuan.
Peran mayoritas diduduki laki-laki. Ini pun dengan tambahan, laki-laki berada pada posisi teknis dan pimpinan.
Perempuan nampaknya lebih banyak menyelesaikan urusan administrasi dan klerikal.
Lebih lanjut, hanya 22% perempuan yang berprofesi AI di tingkat global, 13,8% perempuan jadi penulis makalah AI, dan hanya 18% penulis di konferensi AI terkemuka yang perempuan.
Dalam hal distribusi permodalan pun, kesenjangan itu menyolok.
Tercatat hanya 2% modal ventura bagi perusahaan startup, jatuh ke perusahaan yang didirikan perempuan.
Ramos kemudian menutup uraiannya:
Kurangnya keragaman gender terjadi sejak hulu dan terjaga konsitensinya hingga ke hilir.
Baca Juga: Toxic Masculinity dan Pembagian Kerja Berbasis Gender dalam Keluarga
Di hulu, pendidikan di bidang science, technology, engineering and mathematic (STEM), lebih didominasi laki-laki.
Dengan ilustrasi melempar kulit pisang sambil ditutup matanya, jika lemparan itu ditujukan pada peserta didik di bidang STEM, maka hampir pasti lemparan mengenai laki-laki.
Itu saking banyaknya laki-laki dibanding perempuan.
Sedangkan di tingkat hilir, distribusi kekuasaan maupun kepemimpinan, tak kalah timpangnya.
Posisi-posisi penentu kebijakan dikuasai laki-laki. Ini menciptakan ketimpangan gender, yang juga penyebab tak meratanya ketersediaan data berdasar gender.
Tak terelakkan, ini membuka pintu bagi terjadinya bias algoritma.
Indikasi terjadinya kesenjangan gender pada bidang AI, STEM, maupun tempat kerja pada umumnya, telah berlangsung lama.
Sejarah mencatat relasi tak seimbang antara laki-laki dan perempuan telah berlangsung lama. Hingga kini ketakseimbangan relasi itu terus terjadi.
Berbagai rekomendasi untuk mengurangi kesenjangan, lalu jadi perhatian serius para ahli.
Salah satunya Natalie Marchant, penulis dan editor pada World Economic Forum, yang mengemukakan rekomendasinya melalui artikel yang ditulisnya pada 2021, berjudul: “5 Ways to Improve Gender Equality in the Workplace”.
Dari 5 rekomendasi itu, pada dasarnya menurut Marchant, mencegah kesenjangan harus dimulai sejak rekrutmen.
Rekrutmen terjadi di tingkat hulu, pada pelaksanaan seleksi peserta didik, maupun tingkat hilir saat memberi kesempatan kerja maupun alokasi jabatan.
Bias gender, atau kesenjangan gender, dapat dicegah melalui wawancara. Ini bertujuan mengungkap keterampilan calon peserta didik maupun pekerja.
Baca Juga: Kenali Metode STAR, Cara Wanita Karier Jawab Pertanyaan saat Wawancara Kerja
Ketika kandidat telah diperoleh, transparansi fasilitas pendidikan maupun perolehan gaji yang diberikan jadi prinsip penting.
Diskriminasi fasilitas maupun gaji, apalagi berdasar gender, akan menyebabkan turunnya etos kerja. Dan pada akhirnya merembet pada penurunan produktivitas.
Namun demikian, dari seluruh pencetus terjadinya kesenjangan gender, baik kultural maupun aspek struktural, perempuan dikehendaki untuk bergerak mengubah nasibnya sendiri.
Berharap dunia luar memberikan kemurahan berupa kesempatan yang lebih adil, nampaknya perlu waktu lama, Kawan Puan.
Atau bahkan tak mungkin.
Tersedia pilihan lainnya: Menyerah, seraya meratapi ketakadilan yang dialami, tanpa perlawanan.
Tapi Kawan Puan tidak mau begitu, kan? (*)