Parapuan.co - Menjadi seorang perfeksionis seringkali dilihat sebagai poin plus saat kita wawancara untuk pekerjaan atau kepentingan lainnya.
Seorang perfeksionis cenderung lebih teliti dan detail dalam menyelesaikan pekerjaannya.
Tak heran, sikap perfeksionisme dianggap sebagai nilai positif dari seseorang ketika menyangkut pekerjaan, pendidikan, dan banyak aspek lainnya.
Kendati demikian, ternyata menjadi perfeksionis tak selamanya baik.
Melansir Medical News Today, perfeksionisme sendiri digambarkan sebagai kondisi standar pribadi seseorang yang tinggi dan evaluasi diri yang cukup kritis.
Perfeksionisme ternyata dapat sangat memengaruhi kesehatan mental dan fisik kita.
Thomas Curran, seorang dosen di Departemen Kesehatan di University of Bath di Inggris, dan Andrew P. Hill, dari York St. John University, melakukan studi tentang keterkaitan perfeksionisme dengan kesehatan mental dan fisik.
Salah satu dampak yang paling terasa dari menjadi perfeksionis adalah gangguan kesehatan mental.
Dampak Perfeksionisme pada Kesehatan Mental
Baca Juga: Menjadi Perfeksionis Bisa Membuat Kita Sakit? Ini Dia 5 Penyebabnya
Kedua peneliti tersebut menyatakan bahwa berdasarkan data, perfeksionisme ternyata sangat berpengaruh pada kesehatan mental, terutama yang terkait dengan kehidupan sosial.
Seorang perfeksionis percaya bahwa mereka harus menunjukkan kesempurnaan untuk mendapatkan penerimaan dari lingkungan sekitarnya.
Kecemasan, depresi, dan keinginan bunuh diri adalah masalah kesehatan mental yang sering dialami seorang perfeksionis.
Studi menemukan bahwa lebih dari separuh orang yang meninggal karena bunuh diri digambarkan sebagai perfeksionis oleh orang yang mereka cintai.
Kemudian, lebih dari 70 persen anak muda yang meninggal karena bunuh diri memiliki kebiasaan menciptakan ekspektasi yang terlalu tinggi terhadap diri mereka sendiri.
Penelitian Curran dan Hill tersebut juga menyatakan bahwa perfeksionisme yang berorientasi pada diri sendiri terjadi ketika individu menuntut dirinya untuk menjadi sempurna.
Seorang perfeksionis juga sering memiliki ekspektasi yang tidak realistis terhadap diri mereka sendiri dan akan menghukum dirinya saat evaluasi.
Kondisi tersebut sering terkait dengan masalah mental depresi klinis, gangguan makan, dan kematian dini di kalangan mahasiswa dan kaum muda.
Perfeksionisme yang mengritik diri sendiri juga dapat meningkatkan risiko gangguan bipolar.
Baca Juga: Bisa Menyebabkan Depresi, Ini Dampak Buruk Self-Talk Negatif
Dampak Perfeksionisme pada Kesehatan Fisik
Berdasarkan studi yang sama, penyakit perfeksionisme tidak berhenti pada kesehatan mental saja.
Penelitian tersebut menemukan bahwa tekanan darah tinggi lebih umum dialami oleh seorang perfeksionis.
Studi juga menghubungkan sifat tersebut dengan penyakit kardiovaskular. Selain itu, saat menghadapi penyakit fisik, perfeksionis lebih sulit mengatasinya.
Dalam penelitian tersebut, ditemukan bahwa perfeksionisme dapat mendorong kematian dini di antara mereka yang menderita diabetes.
Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Prof. Flett dan rekannya menemukan bahwa seorang perfeksionis dengan penyakit Crohn, kolitis ulserativa, atau yang pernah mengalami serangan jantung memiliki waktu yang jauh lebih sulit untuk pulih.
"Hubungan antara perfeksionisme dan penyakit serius bukanlah hal yang mengejutkan mengingat perfeksionisme yang tak henti-hentinya menjadi resep untuk stres kronis," kata Prof. Flett dalam studinya.
Kawan Puan, itu dia dampak perfeksionisme terhadap kesehatan mental dan fisik yang jarang kita ketahui.
Bagi kamu yang termasuk dalam golongan perfeksionis, ada baiknya tetap memperhatikan kesehatan mental serta fisik di tengah ekspektasi tinggi dan ketelitian yang kamu lakukan di pekerjaan atau keseharian.
Baca Juga: 6 Jebakan Waktu yang Berbahaya untuk Karier, Salah Satunya Jadi Deadliner
(*)