Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Dunia ini timpang, terlalu condong pada laki-laki.
Corak kepemimpinan keluarga didefinisikan laki-laki. Perangkat teknologi diproduksi memenuhi kebutuhan kerja laki-laki.
Alat transportasi menguji keamanannya pada standar tubuh laki-laki. Penyediaan fasilitas umum membuat patokan waktu penggunaannya pada perilaku laki-laki.
Bahkan ukuran perangkat penunjang hiburan, games, alat olahraga, didasarkan pada kebiasaan laki-laki.
Kalau pun ada tempat parkir khusus untuk perempuan, ini lantaran kendaraan yang akan diparkir didesain untuk laki-laki.
Tak berlebihan jika timpangnya keadaan-keadaan seperti di atas, berangkat dari kepemimpinan yang melatarbelakangi lahirnya kehendak, desain, keputusan, hingga kebijakan yang diberlakukan pada orang banyak.
Membicarakan peran perempuan dalam kepemimpinan, tak jauh beda dengan membicarakan peran perempuan di alam semesta.
Perempuan yang setidaknya menduduki setengah dari populasi umat manusia, punya fungsi dasar sebagai pasangan bagi yang lain.
Ilmu biologi dasar mengungkap bahwa proses berketurunan yang langgeng setidaknya membutuhkan peran 2 unsur yang dibawa masing-masing jenis kelamin.
Baca Juga: Lebih Berisiko Alami Kecelakaan, Akhirnya Dibuat Boneka Uji Tabrak untuk Pengendara Perempuan
Bahwa terdapat proses berketurunan yang aseksual (seperti pada amoeba yang melakukan pembelahan sel atau kelahiran yang diawali dari kultur jaringan yang ditumbuhkan di laboratorium), tak banyak yang seperti itu.
Di luar urusan berketurunan, perbedaan peran perempuan dari laki-laki terbawa oleh kecenderungan perilakunya.
Perempuan didominasi oleh hormon esterogen. Dia juga dilengkapi organ untuk mempertahankan hidup, yang berfungsi memberi hidup di luar dirinya.
Ini dimulai dengan saat perempuan memberikan sari pati makanan dan air susu ibu bagi anak yang dilahirkannya. Kelenjar susunya aktif berfungsi.
Urusan mempertahankan hidup lainnya menyangkut ke intuisi ibu.
Seorang ibu mampu membaca ancaman yang mengintai anak dan keluarganya, walau tanpa petunjuk jelas. Syak wasangka, mampu mencegah marabahaya.
Banyak cerita anak dan keluarga bisa terlepas dari marabahaya lantaran sang ibu punya intuisi.
Instrumen emosional ibu lah yang memelihara kelangsungan hidup di luar dirinya.
Seluruhnya berbeda dari laki-laki. Sebagai ayah maupun penjaga keluarga, relasinya berbentuk perlindungan dari serangan kekuatan luar.
Laki-laki mengerahkan kemampuan fisik dan rasionalitasnya untuk menjaga kelangsungan hidup anggota kelompok yang dipandunya.
Laki-laki lebih dituntun perilakunya, oleh keberadaan hormon testosteron.
Namun itu semua, sama sekali tak dapat disederhanakan sebagai sebuah kalimat mutlak: Perempuan bertanggung jawab pada aspek emosional, sedangkan laki-laki pada urusan rasional. Yang terjadi, terdapat porsi berimbang sesuai kebutuhan.
Kecenderungan-kecenderungan yang sifatnya primordial ini (ketika dilacak pada praktik kepemimpinan, bisnis, pengembangan teknologi, produksi ilmu pengetahuan), perempuan memang bersifat lebih intuitif dan emosional.
Baca Juga: Makna Compassion dalam Kepemimpinan, Mengapa Kita Butuh? Ini Kata Studi
Laki-laki lebih rasional dan pola tindakannya sangat dipengaruhi aspek fisikalnya.
Perempuan menerapkan pendekatan lemah lembut penuh kasih sayang, laki-laki tegas, penuh hitungan rasional.
Kedua jenis orientasi itu penting dalam mempertahankan banyak hal.
Di dalam penerapan kepemimpinan misalnya. Saat keadaan tak terprediksi, variasi ancamannya tak jelas, dan keputusan harus dijatuhkan, maka intuisi perempuan berguna.
Perempuan digerakkan oleh perasaan tajamnya, menuntun langkah-langkah yang menyelamatkan banyak pihak.
Sebaliknya dalam keadaan serumit apapun, jika variasi-variasinya kesulitannya terpampang jelas, maka pikiran rasional laki-laki mampu menghadapinya.
Sepintas berlaku, perempuan bergerak di wilayah gelap dan samar-samar, laki-laki bertindak dalam keadaan terang benderang.
Hipotesa di atas, nampak relevan dengan uraian Alžbeta Kovaľová, 2022.
Semua termuat dalam artikelnya, “Women in Tech: Unique Insights from a Lifelong Pursuit of Innovation”.
Tulisan tersebut merupakan hasil wawancara Kovaľová dengan Mária Bieliková, seorang ilmuwan komputer terkemuka dari Slovakia.
Bieliková mengantongi pengalaman lebih dari 30 tahun dalam mengembangkan pengetahuan di bidang teknologi dan inovasi.
Dalam wawancaranya, Bieliková mengakui bahwa perbedaan orientasi antara laki-laki dan perempuan tidak lah terhindarkan.
Meski demikian, berbagai hasil penelitian menyebutkan bahwa kecerdasan antara kedua gender ini tak berbeda.
Perempuan tampak lebih tertinggal dari laki-laki akibat sering meremehkan kecerdasannya sendiri.
Pada kenyataannya, perempuan berperan membawa lebih banyak empati dan kecerdasan emosional ke tim pengembangan produk teknologi.
Perempuan juga pandai memperkirakan persyaratan pada aplikasi interaktif. Kepandaian yang terdorong oleh intuisinya.
Oleh karena itu, banyak perempuan yang mampu menjalani profesi sebagai pemrogram (programmer) yang hebat.
Intuisi tajam yang dia miliki membuatnya mampu melahirkan program yang dibutuhkan orang banyak. Seluruhnya berbeda dari laki-laki.
Gender ini umumnya unggul dalam imajinasi spasial dan punya pemahaman terhadap angka yang lebih baik.
Laki-laki dominan dalam penghitungan, saat teknologi diciptakan.
Atas dasar realitas perbedaan orientasi itulah, maka menjadi penting untuk melibatkan perpaduan kedua gender di berbagai aktivitas. Ini termasuk dalam pengembangan produk teknologi.
Pernyataan lanjutan ini dikemukakan Marta Aguilar, 2022, dalam tulisannya, “Yes, It's Important to Have More Women in Tech. Here's Why”.
Banyak peran yang dijalankan perempuan saat teknologi dikembangkan.
Satu hal yang bernada hipotetis: Banyaknya perempuan yang terlibat di bidang teknologi makin mendorong berkembanganya teknologi untuk kelompok gender ini.
Orang-orang di bidang teknologi punya ciri khas, yaitu tertarik menciptakan produk teknologi yang dekat dengan kebutuhan dirinya.
Ini artinya, makin banyaknya perempuan di bidang pengembangan teknologi, akan makin banyak produk teknologi yang disediakan khusus bagi perempuan.
Sayangnya realitas berkata lain. Kumparan Bisnis, 7 Maret 2022, mengutip Satu Kahkonen.
Perempuan yang menjabat sebagai Kepala Perwakilan Bank Dunia untuk Indonesia dan Timor Leste ini menyebutkan bahwa perempuan yang menduduki level pemimpin di Indonesia hanya mencapai 24 persen.
Jumlah ini makin menyusut, ketika posisinya makin ke atas. Hanya 6% perempuan Indonesia yang mampu meraih posisi chief executive officer (CEO).
Baca Juga: Kisah Kepemimpinan Shinta Kamdani, CEO Sintesa Group yang Berhasil Ekspansi Bisnis Keluarga
Kesenjangan perbandingan posisi CEO perempuan dengan laki-laki tak hanya terjadi di negara berkembang.
Bahkan di negara maju yang telah lama mengatasi kesenjangan gender, keadaannya tak terlalu beda.
Mengutip World Economic Forum, 2022 yang memuat ulasannya berjudul, “How Has the Number of Female CEOs in Fortune 500 Companies Changed Over the Last 20 Years?” dilaporkan terjadinya pemecahan rekor baru.
Pencapaian ini dibandingkan dengan 20 tahun sebelumnya.
Pada Maret 2022, terhitung setidaknya ada 74 CEO perempuan yang bekerja di 500 perusahaan berpenghasilan tertinggi di Amerika.
Angka ini naik dari 41 CEO perempuan pada Juni 2021, dan hanya 7 CEO perempuan pada tahun 2002. Perlu dua dekade menyejajarkan keadaannya.
Namun demikian, jika pencapaian itu disajikan dalam persentase, angkanya hanya 15%.
Perempuan yang berhasil mendaki puncak bisnis, masih minim. Posisi 85% lainnya, tak lepas dari kekuasaan laki-laki.
Baca Juga: Tak Bisa Disepelekan, Ini 7 Pelajaran Kepemimpinan dari Para Perempuan
Memang peluang promosi yang lebih adil terindikasi nyata. Jumlah CEO perempuan meningkat dalam periode empat tahun. Namun jumlahnya tak mencerminkan kesetaraan.
Jika kesetaraan itu patut terus diperjuangkan, apa sesungguhnya peran khas perempuan dalam menjalankan kepemimpinan?
Marta Aguilar dalam uraian lanjutnya menyebutkan, bahwa selain pemimpin perempuan mampu mendorong lahirnya produk yang memang dibutuhkan perempuan, keberadaanya juga mendorong peningkatan kinerja.
Perempuan juga mampu menjamin kecukupan tersedianya tenaga kerja. Pada bidang tertentu, kebutuhannya terus meningkat.
Soal peran perempuan dalam peningkatan kinerja, hal ini terjadi jika komposisi antar gender berimbang.
Keseimbangan menguntungkan keberlangsungan aktivitas.
Aguilera mengutip sebuah penelitian pada 22.000 perusahaan yang beroperasi global.
Perusahaan-perusahaan itu memberi kesempatan perempuan, untuk memimpin. Hasilnya, keuntungan bersih perusahaan mengalami peningkatan tinggi.
Organisasi dengan kepemimpinan perempuan sebesar 30% erat kaitannya dengan peningkatan keuntungan bersih, yaitu sebesar 6%.
Di balik pencapaian itu, realitas keragaman keterampilan dan berkurangnya diskriminasi gender, menyebabkan perusahaan punya pekerja berbakat tanpa peduli gendernya. Tak mengistimewakan pekerja laki-laki.
Itu artinya memberi kesempatan pada semua orang berbakat untuk bisa masuk dalam aktivitas.
Baca Juga: Menurut Erika Retnowati, Ini 4 Hal Penting yang Harus Dimiliki Pemimpin Perempuan
Keragaman bakat tersedia, dengan membuka peluang bagi seluruh gender.
Adapun peran lain dari perempuan yang ada di puncak kepemimpinan: Kelompok gender ini cenderung tak mendiskriminasi perempuan lainnya.
Ini artinya perekrutan hanya mempertimbangkan keterampilan, bukan hal di luar itu.
Perempuan yang tak mendiskriminasi akan mampu terus memasok kebutuhan tenaga kerja. Dalam kaitan produk teknologi misalnya.
Bidang ini adalah aktivitas dengan pertumbuhan tercepat di dunia. Pertumbuhan yang memerlukan banyak tenaga kerja.
Apa yang terjadi jika pada keadaan ini justru perempuan didiskriminasi?
Dunia teknologi kehilangan setengah dari sumber daya manusia yang dibutuhkan, pada aktivitas yang sedang tumbuh.
Jika dirangkaikan seluruhnya: Perempuan di puncak kepemimpinan berperan jadi pembongkar sekat abadi.
Sekat yang menjadikan dunia timpang.
Ini dapat kembali disejajarkan apabila kehadiran perempuan, seperti Kawan Puan, makin setara komposisinya. Membawa dunia untuk berorientasi imbang pada kedua gender.
Jika tidak, sampai kapan perempuan sanggup hidup di dunia yang terus mengasingkan dirinya sendiri? (*)