Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Kemenangan Michelle Yeoh sebagai pemeran utama perempuan terbaik dalam perhelatan Academy Awards (Oscar) menjadi simbol.
Sebuah simbol yang mendobrak tabu kultural yang selama ini melekat sebagai prasangka terhadap perempuan keturunan Asia, khususnya di negeri Paman Sam.
Sejarah panjang kaum imigran Asia di Amerika Serikat telah lama memandang ras Asia sebagai perusak tatanan dan kestabilan dominansi kulit putih turunan Eropa.
Orang Asia disebut memiliki kulit kuning yang berarti tubuh mereka merupakan sumber penyakit, tidak higienis, dan kotor.
Stigma ini semakin menguat ketika Presiden Trump menyebutkan virus Covid-19 sebagai Virus Cina atau “Kung Flu” yang seakan meneguhkan pandangan bahwa ras Asia adalah orang-orang yang kerap menyebarkan penyakit.
Stigma Perempuan Asia Sebagai Objek Reproduksi dan Seks
Adapun halnya dengan perempuan keturunan Asia kerap dipandang sebagai objek seksualitas.
Sejak pertama kali berdirinya pemukiman komunitas Asia di Amerika yang diinisiasi oleh para pelaut Filipina di tahun 1765, gelombang imigran Asia (terutama dari Cina) berdatangan dalam jumlah besar.
Sebagai upaya untuk menghentikan ledakan populasi para imigran Asia, dibentuklah The Page Act of 1875 yang melarang para perempuan Asia, khususnya dari Cina, untuk datang ke Amerika Serikat.
Karena perempuan memiliki kemampuan reproduksi untuk hamil dan melahirkan, maka perempuan-perempuan Asia akan menjadi penyebab utama pesatnya pertumbuhan populasi Asia di Amerika.
Larangan bagi kedatangan perempuan Asia akan menyebabkan laki-laki Cina sulit untuk membentuk keluarga sendiri, sedangkan undang-undang melarang tegas para perempuan kulit putih turunan Eropa untuk menikah dengan laki-laki keturunan Asia.
Perang yang melibatkan para tentara Amerika Serikat dan Eropa dengan pihak Asia juga turut mengubah citra perempuan Asia yang dipandang memiliki seksualitas eksotis, erotis, perayu, whoring.
Namun, di satu sisi, memiliki kerapuhan dan sikap tunduk pada dominansi laki-laki kulit putih (Ralston, 1998; Oishi, 2022).
Citra itulah yang terlihat tetap melekat terhadap perempuan Asia, terutama dalam industri hiburan Amerika Serikat seperti Hollywood.
Perempuan Asia kerap digambarkan sebagai sosok yang memiliki kecantikan erotis, tetapi sikapnya dingin, manipulatif, dan memiliki tendensi seksual yang membahayakan.
Perempuan Asia Melawan Stigma
Pasca gerakan #MeToo di jagat virtual dan luring mengubah besar-besaran industri perfilman Hollywood dalam menggambarkan, menempatkan, dan memberikan porsi peran yang lebih besar dan penting kepada perempuan, terutama mereka yang berasal dari kalangan ras minoritas.
Salah satunya adalah dedikasi The Walt Disney Company yang turut membawahi Fox Corporation dan Marvel Cinematic Universe untuk menampilkan beragam karakter perempuan dalam film-film besutan mereka.
Misalnya serial Ms. Marvel yang menempatkan superhero Marvel pertama sebagai perempuan Muslim Asia dalam jajaran semesta pahlawan supernya.
Versi live action dari The Little Mermaid pun menjadikan perempuan Afrika-Amerika sebagai pemeran Ariel yang dalam versi asli kartunnya digambarkan berkulit putih.
Michelle Yeoh merupakan aktris Asia berkebangsaan Malaysia.
Namun dalam pidato kemenangannya dia mendedikasikan penghargaan itu tidak hanya untuk ras Asia, melainkan juga kepada mereka yang mengidentifikasi dirinya sebagai kalangan minoritas.
Baca Juga: Menang Best Actress Oscar 2023, Michelle Yeoh Dedikasikan untuk Sang Ibu
Budaya global saat ini masih dicengkeram oleh paham patriarki yang mengagungkan superioritas laki-laki sebagai penguasa dan penentu.
Tapi kultur tersebut pelan-pelan telah mengalami pergeseran dan perubahan yang membawa semangat anti-diskriminasi, anti-rasial, dan kesetaraan.
Upaya ini mendapat dukungan terbesar dari penyebaran konten-konten digital di jagat virtual yang pro gerakan perempuan.
Hasilnya adalah semakin bertumbuhnya kesadaran gender dan tidak mendiskriminasi perempuan berdasarkan ras, agama, hingga preferensi seksual mereka.
Aktivitas yang dilakukan di ruang digital ini pun semakin memudahkan banyak perempuan untuk saling berinteraksi, bertukar pikiran, berkolaborasi, menyuarakan ekspresi, hingga menggalang dukungan politik (Sinpeng & Tapsell, 2021; Plan International, 2021).
Pelan-pelan, kesetaraan dan keadilan gender akan bisa kita raih dengan penyebaran konten digital positif tentang perempuan yang terus-menerus konsisten dilakukan.
Baca Juga: Perempuan dan Perannya Menjamin Kualitas dan Kenyamanan Jagat Digital
Perempuan (Melawan?) Penuaan
Satu lagi isu perempuan yang disebut oleh Michelle Yeoh dalam perayaan kemenangannya adalah tentang penuaan.
Meski terjadi secara natural dan pasti terjadi pada siapapun, penuaan kerap menjadi momok menakutkan bagi perempuan.
Media mainstream juga penyebaran konten-konten di dunia maya mengglorifikasi tubuh perempuan dengan standar kecantikan tertentu yang terkadang mustahil untuk dimiliki.
Algoritma media sosial sering menampilkan bentuk tubuh perempuan yang dianggap ideal.
Baca Juga: Bias Algoritma dan Peminggiran Perempuan dari Arena Teknologi
Tak luput banyak dari para pengguna internet perempuan yang terobsesi untuk memiliki body goals atau tampilan fisik tertentu demi menuai banyak komentar positif dan ribuan likes dari sesama pengguna media sosial lainnya.
Visualisasi di media merupakan hal yang paling diagungkan, sehingga banyak perempuan yang berusaha menutupi ketidaksempurnaan tubuhnya agar bisa menjadi likeable.
Perangkat digital telah memfasilitasi usaha tersebut dengan keberadaan filter fotografi.
Mereka yang memiliki sumber daya finansial mumpuni dapat melenyapkan ketidaksempurnaan tubuh melalui operasi, implan, suntik hormon, dan lainnya agar terus terlihat muda dan memukau.
Peran Evelyn dalam Everything Everywhere All At Once menyentak audiens bahwa kita tak harus melawan penuaan dan menjadi sempurna untuk bisa menjadi pahlawan.
Fakta bahwa Yeoh pun sudah berusia 60 tahun menunjukkan bahwa di usia yang sudah paruh baya, dia mampu berperan sebagai superhero tangguh.
Di usianya tersebut, dia mampu berdiri sejajar dengan superhero muda lainnya dalam semesta besutan Marvel atau DC yang jauh lebih muda dan terlihat lebih atraktif.
Tentu saja, Kawan Puan, merawat diri itu perlu.
Tak salah memakai krim yang dapat mengurangi kerutan wajah, atau membuat kulit menjadi kenyal.
Sebab merawat diri adalah salah satu wujud self-love dan upaya untuk memberikan penghargaan kepada diri.
Namun segala kemudaan dan kesempurnaan itu tak layak menjadi obsesi, Kawan Puan.
Masih begitu banyak ambisi dan pencapaian yang bisa dan harus kita raih selain memperbaiki tampilan fisik. (*)