Studi tersebut menyebutkan, thrifting tumbuh dan berkembang di Bandung pada 1990-2000.
Namun, kala itu pakaian bekas yang dijual dalam bisnis ini identik dengan pemusik, pemain skateboard, dan streetwear.
Bandung pada waktu itu merupakan pusat fesyen, di mana pakaian bekas banyak dijual.
Mulai dari Pasar Baru (1994-1995), Cibadak (1996-1997), Kebon Kelapa (2000-an), berpindah ke Pasar Tegallega (2002-2003), lalu berakhir di Pasar Gedebage Bandung hingga sekarang.
Tak disangka, budaya thrifting semakin digemari masyarakat di semua lapisan.
Salah satunya disebabkan karena faktor ekonomi masyarakat yang lebih memilih untuk membeli pakaian bekas.
Kini, baju bekas impor tidak hanya digandrungi oleh masyarakat menengah ke bawah tapi juga dari berbagai kalangan.
Pasalnya selain bermerek, kualitas barang juga banyak yang masih bagus dan harganya terjangkau.
Nah, itulah asal-usul pasar thrifting di Indonesia di mana semakin banyak pelaku usaha dan peminatnya.
Apakah menurut Kawan Puan bisnis thrifting akan mengganggu usaha tekstil dalam negeri atau tidak, nih?
Baca Juga: 5 Tips Hemat Belanja Thrifting, Salah Satunya Berkeliling Lokasi
(*)