Parapuan.co - Hari Kartini yang dirayakan tiap tanggal 21 April kerap diidentikan dengan busana tradisional kebaya.
Salah satu alasannya adalah Kartini kerap mengenakan kebaya dalam kesehariannya sehingga citra tersebut kerap terpatri hingga era modern kini.
Walau kebaya merupakan busana yang erat dengan tradisi bangsa Indonesia, namun sebenarnya pakaian tradisional ini bukan hanya berasal dari Tanah Air.
Kebaya adalah busana tradisional yang juga bisa Kawan Puan temui di negara-negara tetangga seperti Brunei, Malaysia, Singapura, dan di selatan Thailand.
Busana tradisional ini sangat erat dengan budaya orang Asia Tenggara.
Bahkan, beberapa waktu lalu Indonesia bergabung dengan negara-negara tetangga tersebut untuk bersama-sama menominasikan kebaya ke dalam Daftar Warisan Budaya Takbenda Unesco pada Maret 2023.
Lantas, bagaimana sejarah dan asal usul kebaya?
Melansir dari Kompas.com, kebaya diyakini berasal dari Timur Tengah yang mengambil kata 'Qaba'.
Qaba sendiri adalah jaket yang konon berasal dari Turkiye, atau dalam bahasa Persia disebut sebagai jubah kehormatan.
Baca Juga: Sering Disamakan, Ini 5 Model Kebaya dari Bentuk dan Asal-Usulnya
Ketika Portugis tiba di Jawa pada 1512, perempuan kelas atas atau bangsawan Jawa kerap mengenakan pakaian serupa dengan bagian depan yang lebih terbuka.
Informasi tersebut disampaikan oleh profesor sejarah fesyen Amerika Serikat, Linda Welters dan Abby Lillethun, dalam buku Fashion History: A Global View.
Kebaya akhirnya mengambil namanya dari kata Portugis “caba” atau “cabaya”, yang berarti “tunik”.
Sementara itu menurut Jackie Yoong, kurator senior untuk fesyen dan tekstil di Museum Peradaban Asia dan Museum Peranakan di Singapura, ternyata ada alasan lain mengapa kebaya dipercaya berasal dari Timur Tengah.
“Saat kamu mengangkat lengan kebaya, di bawah lengan ada tambalan segitiga seperti jubah dari Timur Tengah, sedangkan jaket lain seperti gaya Ming (dari Tiongkok) berpotongan datar,” ujarnya.
Sebelumnya kebaya dipercaya menjadi istilah yang kerap digunakan untuk menggambarkan jubah atau blus laki-laki maupun perempuan.
Namun sejak abad ke-19, kebaya lebih merepresentasikan paduan blus perempuan dengan sarung batik yang kerap dipakai orang-orang di Asia Tenggara.
Bukan hanya dikenakan oleh warga lokal, gaya berbusana dengan kebaya ini pun turut populer di kalangan perempuan Belanda pada era Hindia-Belanda.
Baca Juga: Menawan saat Rayakan Hari Kartini, Ini 5 Fakta Menarik Tentang Kebaya
Alasan lain mengapa perempuan Belanda di Indonesia menyukai kebaya adalah karena busana ini lebih cocok dengan iklim tropis di Tanah Air.
Termasuk juga diadopsi oleh para perempuan di Asia Tenggara yang menganut agama Islam dan ingin berpakaian lebih sopan.
Evolusi Kebaya dari Berbagai Daerah dan Negara
Desain dan model kebaya pun terus berevolusi dari zaman ke zaman.
Jika dulu model kebaya cenderung lebih panjang dengan blus bagian depan terbuka selutut, kini busana tradisional ini lebih variatif.
Misalnya saja seperti kerbaya kartini yang juga populer dikenakan oleh bangsawan Jawa di awal tahun 1900-an.
Ada pula kebaya kutubaru yang memiliki potongan bahan di lapisan dalamnya agar terlihat seperti kemben.
Begitu juga dengan kebaya nyonya, yang terbuat dari sutra atau voile berwarna-warni dengan hiasan bordir.
Untuk tiap daerah di Indonesia juga tak kalah variatif antara satu tempat dengan tempat yang lain.
Baca Juga: 4 Pakem Memakai Kebaya dan Kain Batik, Apa Saja yang Diperbolehkan?
Kebaya Bali biasanya menggunakan selempang warna-warni yang kontras.
Sementara di Jawa, kebaya putih dengan renda gaya Eropa yang dipopulerkan oleh Belanda pada masa kolonial cenderung lebih disukai.
Berbeda halnya dengan Kepulauan Riau, yang mana para perempuan memanjangkan keliman kebaya hingga selutut.
Kebaya yang diadopsi oleh negara-negara Asia Tenggara lainnya pun memiliki desain yang beradaptasi dengan ciri khas daerahnya masing-masing.
Misalnya di Brunei, perempuan mengenakan kebaya yang terbuat dari kain songket yang ditenun dengan benang emas.
Sementara di Malaysia, beberapa perempuan peranakan (keturunan pedagang Cina abad ke-14 yang menikahi perempuan lokal Asia Tenggara) menyulam kebaya mereka dengan motif phoenix dan peony yang merepresentasikan warisan budaya Tiongkok.
Simbol Perlawanan dan Kebanggaan
Kebaya bukan sekadar busana tradisional yang erat dengan budaya daerah semata.
Kebaya juga menjadi simbol kebanggaan dan bentuk perlawanan terhadap penjajah di masa lampau.
Selama Perang Dunia kedua, perempuan Jawa yang ditempatkan di kamp pengasingan Jepang menolak mengenakan apa pun selain kebaya sebagai bentuk pemberontakan dan solidaritas nasional.
Kebaya juga menjadi pakaian nasional Indonesia pada 1945 dan diadopsi oleh maskapai Garuda Indonesia, Malaysia Airlines, dan Singapore Airlines sebagai seragam untuk awak kabin perempuannya.
Modern kini, kebaya pun dikenakan untuk menunjukkan kebanggaan pada budaya daerah yang tak kalah indah dengan budaya asing yang masuk ke Asia Tenggara.
(*)
Baca Juga: Sambut Hari Kartini, Ini Rekomendasi Kebaya Murah Harga di Bawah Rp 250 Ribu