Parapuan.co - Bertepatan dengan Hari Buruh 2023, Kawan Puan rasanya perlu mengenang sosok Marsinah.
Bertahun-tahun silam sebelum ada Hari Buruh 2023, Marsinah dikenal sebagai perempuan pembela hak buruh.
Oleh karenanya di Hari Buruh 2023 yang jatuh pada 1 Mei ini, kita mesti mengetahui perjalanan hidup Marsinah.
Siapa perempuan pembela hak buruh ini dan bagaimana perjalanan hidupnya?
Simak informasi lengkap mengenai biografi Marsinah sebagaimana dikutip dari Kompas.com berikut ini!
Profil dan Biodata Marsinah
Perempuan yang dikenal sebagai aktivis dan pembela hak buruh ini lahir pada 10 April 1969 di Nglundo, Kabupaten Nganjuk, Provinsi Jawa Timur.
Marsinah ialah anak kedua dari tiga bersaudara yang semuanya perempuan, yaitu Marsini (kakak) dan Wijati (adik).
Marsinah diasuh oleh sang nenek sejak ibunya meninggal dunia dan ayahnya menikah lagi.
Baca Juga: Atnike Nova Sigiro, Dosen dan Aktivis Perempuan yang Kini Jadi Ketua Komnas HAM
Sejak kecil, ia sudah bekerja keras dengan membantu neneknya menjual gabah dan jagung sepulang sekolah.
Lulus sekolah dasar, Marsinah melanjutkan pendidikannya di SMP Negeri 5 Nganjuk.
Ia kemudian bersekolah di SMA Muhammadiyah dengan bantuan biaya dari sang paman.
Setelah lulus SMA, Marsinah disebut ingin berkuliah di bidang hukum, tetapi terkendala biaya.
Perjalanan Karier
Lantaran tidak mempunyai biaya untuk kuliah, Marsinah memilih merantau ke Surabaya pada 1989.
Ia pun bekerja di sebuah pabrik plastik yang terletak di Kawasan Industri Rungkut, Surabaya.
Meski sudah menjadi buruh pabrik plastik, ia mencari penghasilan tambahan dari berjualan nasi bungkus lantaran upahnya kecil.
Marsinah bahkan sempat bekerja di perusahaan pengemasan barang sebelum pindah ke Sidoarjo, Jawa Timur.
Baca Juga: Malala Yousafzai dan Para Aktivis Serukan Urgensi Pendidikan di Acara PBB
Pada 1990, ia hijrah ke Sidoarjo dan bekerja di PT Cipta Putra Surya (CPS), sebuah pabrik pembuat jam yang berada di Porong.
Di PT CPS itulah ia dikenal sebagai buruh yang vokal dan selalu memperjuangkan nasib rekan-rekannya sesama pekerja.
Saat bekerja di PT CPS, Marsinah aktif dalam organisasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI).
Perjuangan dan Akhir Hayat
Awal tahun 1993, pemerintah kala itu mengeluarkan imbauan kepada pengusaha di Jawa Timur untuk menaikkan gaji pokok karyawan sebesar 20 persen.
Sayangnya, imbauan itu tidak lantas dikabulkan para pengusaha hingga memicu unjuk rasa dari para buruh untuk menuntut kenaikan upah.
Marsinah menjadi salah satu buruh yang ikut rapat perencanaan unjuk rasa yang digelar di Tanggulangin, Sidoarjo.
Pada 3 Mei 1993, para buruh tersebut meminta rekan-rekan mereka untuk melakukan aksi mogok kerja.
Buruh berdemo menuntut kenaikan gaji pokok dari semula Rp1.700 menjadi Rp2.250 per hari.
Baca Juga: Heboh Kades Demo Tuntut Perpanjangan Masa Jabatan, Ini Syarat Jadi Kepala Desa
Mereka juga meminta tunjangan Rp550 per hari yang bisa didapatkan ketika buruh absen.
Akhirnya, perwakilan buruh sebanyak 15 orang, salah satunya Marsinah berunding dengan pihak perusahaan.
Akan tetapi pada siang hari tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh yang dianggap menghasut rekan-rekannya untuk berunjuk rasa, digiring ke Komando Distrik Militer (Kodim) Sidoarjo.
Mereka dipaksa mengundurkan diri dari PT CPS karena dituduh telah menggelar rapat gelap dan melarang karyawan lain bekerja.
Sekitar pukul 10 malam tanggal 5 Mei 1993, Marsinah menghilang usai dijemput beberapa orang yang diduga suruhan PT CPS.
Jasadnya ditemukan dalam kondisi mengenaskan di Nganjuk pada 9 Mei 1993.
Hasil otopsi menunjukkan bahwa ia dianiaya dan diperkosa, dan sudah meninggal sehari sebelum jenazahnya ditemukan, yaitu pada 8 Mei 1993.
Meski telah tiada, perjuangan Marsinah masih diteruskan dan banyak buruh-buruh di luar sana yang berjuang untuk nasib mereka.
Baca Juga: Hari Buruh 2023, Ini yang Bisa Pekerja Perempuan Lakukan untuk Dapatkan Haknya
(*)