Parapuan.co - Hari Asma Sedunia diperingati setiap tanggal 5 Mei.
Ini mengingatkan kita akan terus waspada pada penyakit yang menyerang paru-paru dan menyebabkan susah napas.
Asma bisa diderita oleh siapa saja, baik perempuan maupun laki-laki juga anak hingga dewasa.
Penyebab asma pun cukup beragam, mulai dari riwayat keluarga, alergi, pajanan kerja (kimia, uap, asap), rokok, kegemukan, hingga polusi udara.
Salah satu yang banyak dikenal masyarakat untuk meredakan asma adalah penggunaan inhaler.
Laporan strategi GINA (Global Initiative for Asthma) 2019-2022 menunjukkan bahwa penggunaan inhaler pelega SABA secara rutin, bahkan hanya dalam 1- 2 minggu, justru kurang efektif, dan menyebabkan lebih banyak peradangan pada saluran napas, serta dapat mendorong kebiasaan buruk penggunaan secara berlebihan.
Ketika pasien asma terlalu sering menggunakan/terlalu bergantung pada inhaler pelega SABA, mereka berisiko tinggi mengalami serangan asma, dirawat di rumah sakit, dan dalam beberapa kasus, kematian.
Para ahli asma percaya bahwa "paradoks asma" merupakan faktor penting dalam tantangan penanganan asma, di mana ketergantungan yang berlebihan terhadap inhaler pelega SABA telah dianggap oleh pasien sebagai pengendali penyakit, terutama karena inhaler pelega SABA telah menjadi lini pertama terapi asma selama lebih dari 50 tahun.
Beberapa data menunjukkan kondisi pasien asma di Indonesia masih membutuhkan pengobatan yang lebih baik untuk meningkatkan kualitas hidupnya.
Baca Juga: Bukan Asma, Anak Zaskia Mecca Ternyata Dirawat Karena Pneumonia, Kenali Gejalanya pada Anak
Studi SABINA (SABA Use in Asthma) menunjukkan bahwa 37% pasien asma di Indonesia diresepkan inhaler pelega jenis short-acting beta-agonist (SABA) sebanyak ≥3 kanister/tahun, di mana jumlah resep tersebut justru dapat meningkatkan risiko terjadinya serangan yang parah.
Dr. Eva Susanti, S.Kp, M.Kes, Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Tidak Menular, Kementerian Kesehatan Republik Indonesia, mengatakan, banyak pasien asma di Indonesia yang masih mengalami serangan, yaitu sebanyak 57,5%, (Riskesdas 2018).
"Kami sepenuhnya mendukung inisiatif yang sejalan dengan tujuan pemerintah, yaitu meningkatkan kesehatan masyarakat melalui pendekatan kebiasaan hidup masyarakat. Kampanye 'Stop Ketergantungan' merupakan langkah penting untuk meningkatkan kesadaran masyarakat dan mempromosikan kualitas hidup yang sehat bagi para penyandang asma.
"Kami berharap kampanye ini dapat membantu sebanyak mungkin pasien asma di Indonesia untuk menjaga kualitas hidup yang lebih baik," jelas Dr. Eva, dalam talk show "Stop Ketergantungan: Inhaler Tepat, Redakan Asma", Rabu (10/5/2023).
Dr. H. Mohamad Yanuar Fajar, Sp.P, FISR, FAPSR, MARS, Dokter Spesialis Paru dari Perhimpunan Dokter Paru Indonesia menyatakan, pasien asma di Indonesia cenderung menggunakan inhaler pelega SABA dibandingkan dengan inhaler dengan kandungan ICS (Anti-inflamasi melalui inhaler) karena SABA dirasakan dapat memberi efek lega secara cepat, dan telah menjadi lini pertama terapi asma sejak lama.
"Sebenarnya penggunaan inhaler pelega SABA secara teratur, dapat mengurangi efek atau manfaatnya, sehingga untuk mendapatkan efek yang sama, diperlukan lebih banyak inhalasi atau obat.
"Terlebih lagi penggunaan SABA secara berlebih dapat meningkatkan risiko terjadinya serangan asma, rawat inap karena asma, bahkan kematian.
"Selain itu, pengobatan asma dengan hanya menggunakan inhaler pelega SABA tidak lagi direkomendasikan, karena SABA tidak mengatasi peradangan yang mendasari asma," terangnya.
Baca Juga: Ini Hal yang Wajib Diperhatikan sebelum Ajak Anak Penderita Asma Berolahraga
"Sebagai gantinya, pasien asma harus mendapat pengobatan yang mengandung ICS (antiradang/anti inflamasi), contohnya kombinasi ICS-Formoterol, untuk mengurangi risiko serangan asma. Pasien asma dianjurkan melakukan pemeriksaan rutin ke dokter untuk memastikan kondisi asma terkontrol dan mendapatkan tindakan yang tepat, bukan hanya mencari pengobatan instan saat serangan asma muncul," tambahnya.
Studi Global Burden of Disease (GBD) pada tahun 2019 menunjukkan bahwa diperkirakan terdapat 262 juta orang yang terkena asma di seluruh dunia, dengan faktor penting di mana inhaler pelega dianggap oleh pasien sebagai pengendali penyakit mereka, tetapi karena kurangnya pengobatan terhadap kondisi peradangan yang mendasarinya, hal tersebut sebenarnya menempatkan pasien pada risiko yang lebih besar terhadap serangan asma.
Untuk mencapai kualitas hidup yang lebih baik bagi pasien asma di Indonesia, kampanye 'Stop Ketergantungan' pun digagas. Kampanye ini bertujuan untuk mengukur risiko ketergantungan yang berlebihan terhadap SABA dan untuk menjembatani diskusi antara tenaga kesehatan profesional dan pasien asma untuk pengobatan asma yang optimal.
Dari sudut pandang pasien, Zaskia Adya Mecca, seorang istri dan ibu dari pasien Asma menjelaskan pengalaman pribadinya yang hidup bersama suami dan anak-anak yang mengidap asma.
"Hidup bersama suami dan anak-anak, saya pun tahu bahwa terkadang sulit bagi penderita asma untuk konsisten mengikuti pengobatan yang harus dijalaninya, oleh karena itu, dorongan seperti kampanye 'Stop Ketergantungan' ini sangat penting," kata Zaskia Mecca.
"Saya menyaksikan sendiri, ketika kami melakukan konsultasi rutin dan menggunakan perawatan dengan kandungan ICS, kondisinya berubah secara signifikan, dan itu terlihat dari penurunan gejala serta serangan yang terjadi di keluarga saya," imbuhnya.
Untuk menumbuhkan kesadaran pasien asma akan kondisi mereka, kampanye 'Stop Ketergantungan' menyediakan media digital berbasis bukti yaitu tes ketergantungan pelega, yang dapat dibuka di www.stopketergantungan.id untuk menilai tingkat ketergantungan pasien terhadap inhaler pelega SABA.
Tes ini diadaptasi dari Kuesioner Risiko SABA yang telah divalidasi.
Dengan mengikuti tes ini, pasien asma akan memahami risiko dan kecenderungan ketergantungan yang berlebihan terhadap SABA, sehingga dapat berkonsultasi dengan tenaga kesehatan profesional untuk menentukan langkah selanjutnya dalam pengobatan dan penanganan asma yang mereka butuhkan.
(*)