Parapuan.co – Ada banyak hal menarik yang bisa Kawan Puan temukan ketika berkunjung ke Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah. Salah satunya, menjajal wisata paralayang di Desa Wayu, Kecamatan Banawa Selatan.
Sebagai informasi, Desa Wayu terletak pada ketinggian kurang lebih 500 meter di atas permukaan laut (mdpl), tepatnya di kawasan Pegunungan Gawalise. Letak geografis ini membuat desa dengan populasi 389 jiwa itu memiliki pemandangan dari atas bukit yang memukau bak negeri di atas awan.
Dari ketinggian, Kawan Puan dapat melihat hamparan lembah, sungai, pegunungan, dan laut yang apik. Para penerbang paralayang pun dapat menikmati pemandangan itu semua dalam satu frame saat berada di ketinggian.
Tidak heran, Federasi Aerosport Dunia yang berbasis di Prancis melabeli Desa Wayu sebagai salah satu spot terbaik di dunia untuk berparalayang.
Baca Juga: Festival Lestari 5 Jadi Momentum Kabupaten Sigi untuk Tumbuh Lebih Baik
Oleh karena itu, Desa Wayu menjadi salah satu potensi yang “dipamerkan” Kabupaten Sigi dalam Festival Lestari 5 yang dihelat oleh Lingkar Temu Kabupaten Lestari (LTKL) pada 23-25 Juni 2023.
Ketua Federasi Aerosport Seluruh Indonesia (FASI) Sulawesi Tengah, Asgar, yang hadir dalam rangkaian acara tersebut mengatakan keistimewaan paralayang di Desa Wayu tak semata pemandangan bentang alam yang indah.
Menurutnya, Desa Wayu memiliki unsur-unsur penting pendukung olahraga tersebut. Sebut saja, thermal atau panas udara. Untuk menaikkan ketinggian parasut, penerbang paralayang tak hanya membutuhkan dorongan angin, tetapi juga thermal.
“Desa Wayu adalah satu-satunya tempat di Indonesia, bahkan di Asia, dengan spesifikasi thermal yang bersesuaian dengan olahraga paralayang. Itulah alasan mengapa Federasi Aerosport Dunia menilai Desa Wayu sebagai salah satu tempat terbaik untuk berparalayang di dunia,” terang Asgar.
Baca Juga: Perda Sigi Hijau, Upaya Mempertahankan Kelestarian Alam Kabupaten Sigi di Tengah Pembangunan Wilayah
Dengan keistimewaan tersebut, Desa Wayu juga pernah ditunjuk menjadi tuan rumah penyelenggaraan kejuaraan paralayang berskala internasional pada 2016, 2018, dan 2020.
“Itu belum termasuk kejuaraan-kejuaraan berskala nasional, regional, dan lokal. Selain pencinta olahraga dan atlet paralayang, tak sedikit avonturir dari seluruh dunia yang datang karena tertarik menjajal wisata paralayang Desa Wayu,” tambah Asgar.
Jadi kawasan wisata petualangan
Pengakuan dunia untuk Desa Wayu sebagai spot terbaik untuk olahraga paralayang tidak disia-siakan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Sigi. Kini, Desa Wayu tengah ditata dan dikembangkan menjadi kawasan wisata petualangan.
Fasilitas untuk wisatawan pun mulai dibangun di Desa Wayu, mulai dari gazebo untuk menikmati pemandangan dari atas bukit, rumah makan, toilet, hingga penginapan.
Baca Juga: Tak Disangka! Ternyata 4 Hidden Gem di Gorontalo Ini Jadi Favorit Turis Asing
Beberapa pekan terakhir, Pemkab Sigi juga memulai proyek perbaikan jalan agar akses ke Desa Wayu lebih baik.
Menurut Ketua FASI Kabupaten Sigi, Amir Mahmud, pengembangan infrastruktur Desa Wayu agar menjadi desa wisata yang ramah wisatawan adalah sebuah perjuangan penuh.
Awalnya, masyarakat setempat tidak menyadari adanya potensi wisata di desa mereka. Bahkan, tak sedikit masyarakat yang takut lahan pertanian mereka akan “dirusak” demi membangun berbagai fasilitas wisata.
“Kami mengerti karena di Desa Wayu ada banyak lahan jagung dan kemiri yang merupakan sumber penghasilan warga. Akhirnya, dilakukan dialog-dialog dengan masyarakat dan terjadilah tempat wisata Paralayang Desa Wayu ini,” cerita Amir.
Baca Juga: Selain Desa Panglipuran, Ini 4 Hidden Gem Desa Adat Lainnya di Bali
Andi Lasippi selaku Majelis Adat Kecamatan Marawola pun turut merasa bangga. Ia mengatakan bahwa masyarakat setempat sebenarnya mendukung pembukaan lahan di Desa Wayu sebagai area wisata paralayang, tetapi memang diperlukan dialog yang baik.
“Saat ini, sudah ada saling pengertian dan kesepakatan. Kami selaku masyarakat adat di Desa Wayu berusaha sebisa mungkin menyambut tamu-tamu yang datang, tetapi para pendatang juga harus menghargai budaya dan adat yang dipercayai oleh masyarakat kami,” ujarnya.
Andi pun mengaku bersyukur karena sejauh ini, toleransi serta rasa saling menghormati antara pendatang dan masyarakat setempat sudah terbangun. Contohnya, semua masyarakat yang datang sudah berpakaian yang baik dan sopan sesuai dengan adat istiadat.
Keberpihakan pemerintah dalam mengembangkan Desa Wayu sebagai destinasi wisata aerosport juga memperoleh respons positif dari klub-klub paralayang di Kabupaten Sigi, seperti Sigi Paralayang, Maleo Paralayang, dan Salena Paralayang.
Baca Juga: Bak Negeri Salju di Atas Awan, Ini 4 Fakta Menarik Fenomena Embun Upas di Dieng
Atlet senior dari klub Maleo Paralayang, Abdul Wahid, mengatakan bahwa anugerah alam yang diberikan Tuhan di Desa Wayu tidak boleh disia-siakan. Oleh sebab itu, klub-klub paralayang pun aktif melakukan pembinaan dan upaya regenerasi anggota klub.
“Buat apa kita punya spot (paralayang) terbaik tapi tidak ada atletnya?,” kata Abdul.
Lebih lanjut Abdul mengatakan, warga sekitar Desa Wayu juga menjadi pendukung terbesar tumbuhnya olahraga paralayang di Kabupaten Sigi.
“Jangan kira atlet paralayang datangnya dari luar desa ini saja. Sekarang sudah ada lho lima atlet paralayang yang asalnya dari Desa Wayu. Mereka sudah berprestasi dan mengharumkan nama daerah,” kata Abdul.
Baca Juga: Ikut Ajang Lari Bergengsi, In Tips Persiapan Maraton dari Pelari Maraton Elite Internasional
Menggerakkan kembali roda ekonomi warga
Berkembangnya Desa Wayu sebagai lokasi wisata paralayang juga diharapkan dapat menjadi penggerak roda ekonomi warga setempat.
Sebelum diterpa badai pandemi Covid-19, Desa Wayu menjadi saksi bencana alam di Sulawesi Tengah, seperti gempa, likuifaksi, dan tsunami. Kabupaten Sigi, Kabupaten Donggala, dan Kota Palu terdampak parah oleh bencana yang disebabkan oleh berderaknya Sesar Palu Koro—sesar aktif yang membelah punggung Pulau Sulawesi.
“Pada 2018 itu (bencana) terjadi. Kami sedang ada kejuaraan (paralayang). Untungnya, kami terbang pagi dan landing di pantai yang terkena tsunami itu pada siang hari sebelum waktu salat Jumat. Kami ingat sekali, bagaimana jika kami terlambat landing sepersekian menit saja. Sudah pasti semua dari kami jadi korban,” kisah Amir.
Meski demikian, ia mengatakan tak sedikit penerbang yang gugur akibat bencana tersebut. Kebanyakan dari mereka justru penerbang yang sudah sampai di hotel untuk bersiap mengikuti acara lainnya.
Baca Juga: Festival Lestari V, Investasi Sembari Menjaga Pelestarian Lingkungan
“Kami bantu cari nama-nama yang jadi peserta kejuaraan itu. Para peserta yang belum masuk hotel bisa berlarian menyelamatkan diri. Beberapa orang tidak sempat,” kata Amir.
Gempa tersebut, ditambah dengan badai Covid-19, membuat warga Desa Wayu juga terpengaruh secara ekonomi. Oleh karena itu, pengembangan lokasi wisata Paralayang Desa Wayu diharapkan menjadi siasat yang tepat untuk menggerakkan kembali roda ekonomi warga.
Gotong royong yang dilakukan antara Pemprov Sulawesi Tengah, Pemkab Sigi, komunitas pegiat paralayang, dan warga setempat telah menghasilkan sebuah potensi besar. Berkembangnya Desa Wayu sebagai lokasi wisata paralayang diharapkan juga tetap memperhatikan keberlanjutan alam dan kesejahteraan warga Desa Wayu.
(Kontributor Foto: Joshua Marunduh/Teks: Basri Marzuki)