“Sebulan kami bisa dua kali panen. Setiap panen kami dapat 50 kilogram biji kopi. Pasar kopi di dalam dan di luar Kota Palu sedang bagus. Harga saat ini selalu stabil pada kisaran Rp 70.000per kg kalau dijual di dalam Kota Palu,” kata Ismail.
Apabila menjualnya di luar Provinsi Sulawesi Tengah, Ismail bisa mematok harga Rp 100.000 per kg. Dengan penghasilan dari bertani kopi, Ismail sudah bisa membiayai uang sekolah anaknya yang masing-masing duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama (SMP).
Seiring waktu, Ismail juga memproses kopi hingga menjadi siap minum. Ketika ada pameran produk tani, baik yang diselenggarakan di Kabupaten Sigi maupun Kota Palu, ia selalu datang untuk memperkenalkan produk kopi dombu miliknya.
“Termasuk hari ini, saya buka stand di sini untuk Festival Lestari 5”, kata Ismail.
Baca Juga: Perda Hijau Jadi Langkah Menguatkan Kabupaten Sigi yang Maju dan Berkelanjutan
Petani lainnya dari Desa Dombu, Nolvi Mandagi, menceritakan mengenai bagaimana kopi membuatnya punya harapan untuk berdaya secara ekonomi. Ia mengaku saat ini kewalahan memenugi pesanan dari Jakarta, Surabaya, dan Makassar.
“Bahkan konsumen mesti setor uang jaminan untuk mendapat kiriman biji kopi. Jadi, mereka pesan jauh hari sejak kopi belum dipanen,” kata Nolvi.
Novi sendiri memiliki 1.701 pohon kopi dan telah memiliki pelanggan loyal di Kota Palu. Menurut Nolvi, Festival Lestari 5 bisa menjadi “etalase” untuk memperkenalkan kopi khas Kabupaten Sigi.
“Menurut penilaian saya, ceruk pasar kopi dari Sigi masih terlalu kecil dibandingkan daerah lainnya,” ucap Nolvi.
Oleh sebab itu, dengan adanya Festival Lestari 5, Nolvi berharap kopi robusta dan arabika dari Sigi bisa mendapat panggung di ranah nasional.