''Tapi harus usaha yang punya dampak sistemik. Misalnya, kegiatannya di Sigi tapi hasilnya melampaui daerah Sigi,'' jelasnya.
Adapun, plafon pembiayaan yang ditawarkan bervariasi mulai dari 100.000 dollar AS hinggga 1 juta dollar AS.
Baca Juga: Kabupaten Sigi Gelar Festival Lestari 5, Dorong Investasi Berbasis Kelestarian Alam
Forum ini juga menawarkan model bisnis yang di Sulawesi Tengah, bahkan Indonesia belum familiar, yakni carbon trading. Carbon trading atau perdagangan karbon merupakan perdagangan antar negara yang dirancang untuk mengurangi emisi karbon dioksida.
Carbon trading juga dikenal dengan sebutan carbon emissions trading atau perdagangan emisi karbon. Kegiatan ini menyumbang sebagian besar perdagangan emisi di dunia.
Direktur PT Rimba Makmur Utama (RMU) Rezal Kusumaatmadja mengulik panjang lebar usaha bisnis yang digelutinya itu. RMU yang dirintis pada 2008, adalah perusahaan pertama di Indonesia yang bergerak di sektor ini.
“Sebagai bisnis baru, RMU masih terus memperkenalkan diri ke publik. Namun masa depan bisnis ini menurut dia, mempunyai prospek yang baik. Mengingat narasi global saat setelah climate change adalah kembali ke nature basic,” kata Rezal.
Kini, RMU masih terus mencoba melakukan konsolidasi pengetahuan mereka dengan memproduksi buku untuk disebarkan agar publik familiar dengan bisnis ini. Perusahaan itu diproyeksikan untuk menjaga hutan.
Karena itu, walau terbilang baru dan pernah mengalami masa paceklik, RMU berusaaha tetap eksis. Karena niat awalnya selain profit adalah untuk menjaga kehidupan.
“Prospek bisnis ini sangat visible karena semua komponen modalnya sudah tersedia. Ada modal budaya, modal sosial, ada modal alam dan kebijakannya. Terakhir adalah uangnya. Indonesia belum punya aturan soal model bisnis ini,” kata Rezal.
Baca Juga: Kisah Kopi dan Durian si Buah Tangan dari Kabupaten Sigi
Aturan masih digodok
Ini diakui oleh Direktur Promosi Wilayah Asia Tenggara, Australia, Selandia Baru, dan Pasifik Kementerian Investasi/BKPM Saribua Siahaan yang ditemui sehari sebelum forum berlangsung. Indonesia menurut dia belum masuk dalam bisnis perdagangan karbon ini karena aturannya masih harus digodok di Bappenas.
Masih terkait pembangunan lestari, Leonard Theosabrata dari Smesco memberi dukungan penuh terhadap konsep pembangunan berbasis alam. Ia akan mempromosikan Cagar Biosfer Lore Lindu, mengingat ada hewan dan tumbuhan endemik yang harus dijaga sana.
Ia berharap di Cagar Biosfer Lore Lindu terdapat komoditas yang bisa diolah entah itu untuk bumbu rempah maupun maupun kosmetik. Smesco yang baru saja melakukan kerjasama dengan perusahaan farmasi, membuat pengolahan bahan-bahan alami bisa diolah di sana.
''Ini yang kita inginkan. Tidak perlu diolah dengan teknologi canggih tapi memenuhi standar mutu dunia,'' jelasnya.
Baca Juga: Investasi Sambil Menjaga Alam, Sigi Jadi Tuan Rumah Festival Lestari V
Mengunci diskusi itu, Bupati Sigi Mohamad Irwan Lapata, memberi jaminan serta komitmen untuk mendukung setiap usaha lestrai yang berlangsung di Kabupaten Sigi.
“Daya dukung alam dengan tersedianya komoditas nonkayu yang banyak tersedia membuat bisnis berbasis alam terjmain keberlangsungannya di Sigi. Kemudian, dukungan lainnya adalah kebijakan yang ramah investasi terhadap pelaku usaha. Pembangunan lestari bahkan sudah tertuang dalam RPJMD Kabupaten Sigi,” katanya.
Dalam tataran aksi, menurut Irwan, Perda Sigi Hijau kemudian diterjemahkan dalam bentuk pemilahan wilayah komoditas. Misalnya, kawasan Kulawi Raya untuk perkebunan.
“Pemerintah memberikan 20.000 pohon durian musangking kepada warga di kawasan itu. Proyeksinya pada beberapa tahun kedepan Sigi menjadi pemasok utama kebutuhan buah tropis seperti durian, manggis bali, dan alpukat, ke Ibukota Nusantara,'' paparnya.
(Kontributor Foto: Joshua Marunduh/Teks: Yardin Hasan)