Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Sebuah keluarga bisa saja dikatakan “utuh” secara norma, ketika terdapat unsur ayah, ibu, dan anak.
Namun keluarga yang demikian, tampil sebagai keluarga inti (nuclear family), tak berhasil memenuhi fungsi sosialnya. Ini terutama dikaitkan saat membesarkan anak.
Pada keluarga yang nampak “utuh” ini terjadi fenomena yang kini lazim disebut sebagai fatherless atau father absence.
Problem fatherless bisa disebabkan oleh perceraian, tetapi dalam konteks ini terdapat problem kehadiran, yang membuat fungsi ayah tidak berjalan sebagaimana mestinya.
Fatherless juga disebabkan oleh orang tua yang tinggal berjauhan akibat tuntutan pekerjaan atau kesibukan ayah, yang terlalu padat.
Namun saat sang ayah ada di rumah dan berkumpul bersama anak-anaknya pun, situasi fatherless bisa terjadi.
Artinya, masalah fatherless tidak melulu bisa diatasi lewat keberadaan secara fisik saja, melainkan juga psikis.
Pertanyaannya, mengapa bisa terjadi fenomena fatherless, terutama pada keluarga inti?
Hal ini tentu tidak terlepas dari stereotip tentang peran perempuan, atau dalam hal ini ibu.
Baca Juga: Indonesia Peringkat ke-3 Fatherless Country di Dunia, Ini Pengertian dan Dampaknya
Ibu dianggap punya kewajiban untuk fokus mengurusi hal-hal domestik, mulai dari urusan rumah tangga hingga membesarkan anak.
Pandangan tersebut tidak sepenuhnya keliru, tetapi menjadi problematik jika menimpakan tanggung jawab tersebut hanya pada ibu.
Di sisi lain, ayah kerap diposisikan sebagai orang yang fungsinya hanya sebagai pencari nafkah (breadwinner).
Dengan stereotip peran seperti itu, maka seorang ayah merasa dirinya hanya memiliki tugas mencari uang, mengirimkannya pada istri, memberi jajan pada anak. Setelah itu selesai.
Saat ayah dianggap telah menjalankan fungsinya sebagai breadwinner, maka dia tidak merasa punya tanggung jawab lagi untuk membangun ikatan psikologis dengan anak.
Dari mana akar pembagian peran yang seolah-olah kodrati itu?
Friedrich Engels dalam bukunya berjudul The Origin of the Family, Private Property, and the State, menuliskan bahwa peran semacam itu dapat dilacak dari bagaimana laki-laki diserahi tugas untuk berburu hewan di alam liar.
Tugasnya tersebut membuat laki-laki merasa memiliki hak atas hasil buruannya dan menempatkan perempuan hanya sebagai orang yang mengurusi domestik.
Dengan perasaan kepemilikan atas hasil buruan tersebut, lanjut Engels, pria kemudian merasa perlu untuk mengetahui garis keturunannya agar dapat melanjutkan kepemilikan pribadi.
Baca Juga: Hari Ayah Nasional, Ini Pentingnya Sosok Ayah dalam Kehidupan Anak
Dari sanalah kemudian bibit-bibit patriarki muncul, yang seolah menempatkan esensi perempuan secara turun-temurun hanya pada tugas-tugas domestik.
Padahal di masa-masa sebelumnya, pembagian kerja laki-laki dan perempuan tidaklah setegas itu, kecuali bahwa kenyataannya secara biologis perempuan memiliki rahim untuk reproduksi.
Meski seorang anak dilahirkan dari rahim perempuan, tidak berarti hanya ibunya yang mengurusi anak tersebut.
Anak dibesarkan bersama-sama dalam sebuah masyarakat kolektif.
Apa arti dari pandangan Engels tersebut?
Dapat dikatakan bahwa peran laki-laki dalam rumah tangga sebagai breadwinner dan tugas perempuan untuk mengurusi hal domestik termasuk membesarkan anak bukanlah sesuatu yang kodrati.
Semuanya bisa dilacak secara historis bahwa laki-laki dan perempuan semestinya membesarkan anak bersama-sama tanpa membebankan tanggung jawab tersebut pada salah satu pihak saja.
Pandangan stereotip tentang pembagian tugas ini bahkan makin parah jika melihat sejumlah fenomena di dunia kerja, yang kurang memandang serius perempuan yang bekerja sambil mengurus anak.
Mereka dianggap hanya mencari “sampingan”, sekadar tambah-tambah uang jajan, karena yang dianggap pencari nafkah utama biasanya hanya sang suami.
Baca Juga: Ini Peran Penting Ayah agar Remaja Perempuan Terhindar dari Kekerasan Seksual
Stereotip-stereotip semacam ini harus dikikis, Kawan Puan.
Ayah dan ibu punya tugas yang sama dalam baik membesarkan anak maupun mencari nafkah.
Semuanya adalah perkara pembagian kerja yang disepakati bersama dan bukan karena melekat sebagai kodrat dalam laki-laki maupun perempuan.
Tidak perlu dibesar-besarkan jika melihat video ayah menggendong bayi atau mengganti popok.
Hal demikian bukanlah tindakan luar biasa, melainkan hal yang mesti dinormalkan.
Dalam pengamatan penulis selama beberapa tahun ini tinggal di Inggris, hal-hal seperti ayah pergi berdua bersama anak ke taman atau ke mal merupakan hal yang biasa.
Banyak ayah yang bersedia meluangkan waktu untuk momen-momen berkualitas bersama anak.
Hal ini berbeda dengan apa yang penulis perhatikan di Indonesia.
Seorang ibu saat pergi ke mal sambil menenteng belanjaan juga tetap harus menyuapi anak dan sekian banyak peran lainnya yang dilakukan berbarengan.
Seorang ayah seolah sudah menganggap hal demikian sudah “seharusnya” dilakukan ibu dan diglorifikasi dengan sebutan-sebutan seperti “super mom”, “multitasking”, dan sebagainya.
Banyak penelitian tentang pentingnya peran ayah baik secara fisik maupun psikis terhadap anak, mulai dari meningkatkan perasaan aman dan percaya diri bagi si anak, sampai pengaruhnya terhadap menurunnya tingkat kenakalan.
Dengan demikian, seorang ayah sebaiknya tidak merasa cukup dengan kiprahnya sebagai pencari nafkah di luar rumah.
Melainkan berbanggalah jika punya kemampuan menyeimbangkan diri dalam perannya sebagai ayah secara fisik dan psikis bagi anak-anak. (*)