Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Tidak dapat dipungkiri juga bahwa tidak semua orang tua dapat secara penuh mengawasi anak-anaknya, terlebih jika para orang tua ini sibuk bekerja mencari nafkah.
Riset yang dilakukan di Universitas New Hampshire menunjukkan bahwa sejumlah anak di Amerika terjebak dalam kecanduan konsumsi konten dewasa online sejak usia delapan tahun!
Ini berarti, apabila anak sudah mengalami kecanduan, maka mereka akan mencoba berbagai cara untuk berkelit dari pengawasan orang tuanya.
Masalahnya, situs-situs atau game yang mengandung konten dewasa tidak semuanya memberlakukan aturan ketat terkait usia pengguna.
Atas dasar itu, Inggris menjadi negara pertama yang memberlakukan kewajiban verifikasi usia bagi situs-situs tertentu.
Kebijakan tahun 2019 tersebut mengharuskan berbagai situs, khususnya situs yang belum bisa dikonsumsi anak-anak, untuk bisa mengenali usia penggunanya melalui teknologi AI dan bukan lewat pengisian identitas.
Pengenalan tersebut bisa melalui foto wajah ataupun pelacakan algoritma dengan mengacu pada histori pencarian anak.
Meski praktiknya kadang belum akurat, tetapi pemerintah Inggris tetap menunjukkan sikap tegas untuk tidak membuat anak bisa mengakses situs tertentu dengan mudah.
Jika situs-situs tidak menyajikan fitur ini, mereka terancam diblokir dari seluruh pengguna di Inggris.
Baca Juga: Lindungi Anak dari Konten Negatif dengan Parental Control, Apa Itu?
Dalam arti kata lain, ketegasan pemerintah juga diperlukan dalam rangka menyediakan akses internet yang ramah bagi anak.
Komunikasi lagi-lagi memegang peranan krusial untuk mencegah anak dari kecanduan mengakses situs tertentu.
Dr. Firman Kurniawan, penulis buku Digital Dilemma, menuliskan bahwa kecanduan mengakses internet disebabkan oleh perasaan kesepian dan kurangnya kemampuan dalam mengendalikan diri pada anak.
Efek dari kecanduan ini, adalah meningkatnya konflik personal baik dengan keluarga maupun teman-teman, serta turunnya performa akademik.
Berangkat dari pandangan Dr. Firman Kurniawan tersebut, kita bisa menduga bahwa anak memiliki alasan mengapa mereka lebih memilih untuk lebih terikat dengan gawai ketimbang berkomunikasi dengan keluarga di rumah.
Bisa jadi karena suasana rumah kurang menyenangkan, bisa jadi karena orang tuanya kurang perhatian, atau bisa jadi karena orang tuanya pun memberi contoh penggunaan gawai yang intens.
Orang tua tidak bisa terus menyalahkan perilaku anak yang mengakses internet secara berlebihan, tidak bisa juga langsung memarahinya jika mendapati mereka bermain game atau bahkan mengakses pornografi.
Hal yang penting dilakukan adalah mendengarkan alasan mereka tentang apa yang membuat mereka lebih senang berada di dunia maya ketimbang persentuhan di dunia nyata.
Jika alasan tersebut telah sungguh-sungguh kita dengarkan, baru kita bisa mengambil langkah-langkah berikutnya.
Misalnya dengan kontrol intens terhadap penggunaan internet ataupun melibatkan jasa konseling profesional.
Memasukkan anak ke bangsal kejiwaan rasanya bukanlah pilihan. (*)