Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Beberapa waktu lalu, kita dikejutkan oleh berita dari Pati, Jawa Tengah, tentang puluhan anak yang harus menerima perawatan di bangsal kejiwaan akibat kecanduan bermain game dan juga konten asusila.
Penyebabnya tentu saja mudah ditebak, yakni penggunaan gawai yang tak terkontrol dan nyaris tanpa pengawasan.
Hal yang menggelitik sebenarnya bukan hanya soal fenomena anak-anak yang dirawat di bangsal kejiwaan tersebut.
Tetapi bagi saya, muncul berbagai pertanyaan dalam benak: Di mana orangtua mereka?
Mengapa mereka memilih untuk memasukkan anaknya ke bangsal kejiwaan? Tidak adakah solusi lain yang bisa ditempuh melalui internal keluarga itu sendiri?
Anak-anak hari ini dapat mengakses konten-konten di internet dengan sangat mudah.
Jika mereka belum diberi gawai oleh orangtuanya, mereka bisa saja berselancar dengan menggunakan gawai milik temannya.
Bahkan kebutuhan untuk terkoneksikan dengan internet ini difasilitasi oleh sekolah-sekolah, termasuk demi penyelenggaraan pembelajaran daring.
Artinya, koneksi internet sudah menjadi semacam kebutuhan pokok dan tidak mungkin menjauhkan anak-anak dari jejaring virtual.
Baca Juga: 5 Cara Pemilihan Gadget yang Sesuai Umur Anak, Orang Tua Wajib Tahu!
Sebenarnya sudah terdapat berbagai pengamanan yang bisa mencegah anak untuk mengakses situs-situs yang dianggap berbahaya bagi usia mereka.
Misalnya, dengan mengaktifkan Google Safe Search atau Youtube Kids yang mampu mencegah pencarian konten yang belum layak dikonsumsi oleh anak.
Beberapa layanan penyedia internet juga menyediakan fitur parental controls dan filter untuk situs-situs tertentu.
Khusus terkait kecanduan game, orang tua juga dapat membatasi screen time pada anak agar tidak terus menerus bermain.
Selain itu, orang tua juga dapat melakukan pengecekan terhadap gawai yang digunakan oleh anak secara berkala untuk mengetahui situs apa saja yang mereka akses.
Intinya, kita tidak bisa menghalangi anak-anak untuk mempunyai akses terhadap internet, tetapi banyak cara untuk mencegah mereka mengakses situs-situs tertentu.
Sejatinya, idak ada alasan bagi orang tua untuk “lepas tangan” jika anak-anaknya terkena masalah kecanduan akses terhadap game ataupun pornografi.
Jika sampai harus memasukkan anak-anaknya ke bangsal kejiwaan, menurut saya, jadi alternatif terakhir saja.
Namun harus diakui bahwa persoalannya tidak bisa seluruhnya ditimpakan pada orang tua.
Baca Juga: Bagaimana Orangtua dan Anak Berdamai Akrabi Gadget Sejak Dini
Tidak dapat dipungkiri juga bahwa tidak semua orang tua dapat secara penuh mengawasi anak-anaknya, terlebih jika para orang tua ini sibuk bekerja mencari nafkah.
Riset yang dilakukan di Universitas New Hampshire menunjukkan bahwa sejumlah anak di Amerika terjebak dalam kecanduan konsumsi konten dewasa online sejak usia delapan tahun!
Ini berarti, apabila anak sudah mengalami kecanduan, maka mereka akan mencoba berbagai cara untuk berkelit dari pengawasan orang tuanya.
Masalahnya, situs-situs atau game yang mengandung konten dewasa tidak semuanya memberlakukan aturan ketat terkait usia pengguna.
Atas dasar itu, Inggris menjadi negara pertama yang memberlakukan kewajiban verifikasi usia bagi situs-situs tertentu.
Kebijakan tahun 2019 tersebut mengharuskan berbagai situs, khususnya situs yang belum bisa dikonsumsi anak-anak, untuk bisa mengenali usia penggunanya melalui teknologi AI dan bukan lewat pengisian identitas.
Pengenalan tersebut bisa melalui foto wajah ataupun pelacakan algoritma dengan mengacu pada histori pencarian anak.
Meski praktiknya kadang belum akurat, tetapi pemerintah Inggris tetap menunjukkan sikap tegas untuk tidak membuat anak bisa mengakses situs tertentu dengan mudah.
Jika situs-situs tidak menyajikan fitur ini, mereka terancam diblokir dari seluruh pengguna di Inggris.
Baca Juga: Lindungi Anak dari Konten Negatif dengan Parental Control, Apa Itu?
Dalam arti kata lain, ketegasan pemerintah juga diperlukan dalam rangka menyediakan akses internet yang ramah bagi anak.
Komunikasi lagi-lagi memegang peranan krusial untuk mencegah anak dari kecanduan mengakses situs tertentu.
Dr. Firman Kurniawan, penulis buku Digital Dilemma, menuliskan bahwa kecanduan mengakses internet disebabkan oleh perasaan kesepian dan kurangnya kemampuan dalam mengendalikan diri pada anak.
Efek dari kecanduan ini, adalah meningkatnya konflik personal baik dengan keluarga maupun teman-teman, serta turunnya performa akademik.
Berangkat dari pandangan Dr. Firman Kurniawan tersebut, kita bisa menduga bahwa anak memiliki alasan mengapa mereka lebih memilih untuk lebih terikat dengan gawai ketimbang berkomunikasi dengan keluarga di rumah.
Bisa jadi karena suasana rumah kurang menyenangkan, bisa jadi karena orang tuanya kurang perhatian, atau bisa jadi karena orang tuanya pun memberi contoh penggunaan gawai yang intens.
Orang tua tidak bisa terus menyalahkan perilaku anak yang mengakses internet secara berlebihan, tidak bisa juga langsung memarahinya jika mendapati mereka bermain game atau bahkan mengakses pornografi.
Hal yang penting dilakukan adalah mendengarkan alasan mereka tentang apa yang membuat mereka lebih senang berada di dunia maya ketimbang persentuhan di dunia nyata.
Jika alasan tersebut telah sungguh-sungguh kita dengarkan, baru kita bisa mengambil langkah-langkah berikutnya.
Misalnya dengan kontrol intens terhadap penggunaan internet ataupun melibatkan jasa konseling profesional.
Memasukkan anak ke bangsal kejiwaan rasanya bukanlah pilihan. (*)