Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Diperlukan perangkat untuk memoles penampilan. Untungnya media sosial seperti Facebook, menawarkan ruang yang mampu menolong. Membuat orang seakan berkeadaan baik.
Dan itu menyebabkannya diterima oleh kalangan luas. Penampilan diri yang diatur baik jadi pilihan, dibanding harus menarik diri dari pergaulan.
Namun dengan memoles penampilan di media sosial, risiko depresi yang diderita makin buruk.
Adanya komentar positif dan like yang diterima dari konten yang diunggah, sesungguhnya bukan ditujukan pada perasaan yang sebenarnya.
Disonansi antara perasaan yang sesungguhnya, dengan cara menampilkan diri di media sosial, malah menghasilkan keadaan yang membingungkan. Seluruhnya memperburuk depresi.
Fessler menjelaskan lebih lanjut: Seluruh keadaan di atas dapat dipahami.
Ketika seseorang berada dalam keadaan buruk, dia merasa penting untuk melihat diri sendiri dengan cara yang lebih baik.
Cara lebih baik ini dapat menghasilkan energi untuk melanjutkan hidup. Bahkan jika pandangan yang lebih baik itu, datang dari filter Snapchat.
Kembali pada kasus pembunuhan Mega Suryani. Unggahannya yang nampak ceria, bisa jadi merupakan upaya pengumpulan kekuatan melawan derita.
Baca Juga: 4 Gejala Smiling Depression, Merahasiakan Depresi dan Tampil Bahagia
Mega Suryani mendemonstrasikan, kekerasan yang menderanya ringan-ringan saja. Seringan konten yang diunggahnya.
Sebab penting bagi dirinya untuk terus merasa dalam keadaan baik-baik saja.
Di luar itu semua, Mega Suryani tak hendak membiarkan orang lain yang tak paham urusannya, turut menilainya. Karena jika itu terjadi, bakal memperburuk keadaannya.
Uraian sinyalemen-sinyalemen depresi yang disembunyikan dalam bentuk keceriaan (ini disebut sebagai “depresi tersenyum”) diperkuat oleh Amy Morin, 2023.
Uraian Morin termuat dalam “Smiling Depression: When Things Aren't Quite What They Seem. Why Some People with Depression Look Happy on the Outside”.
Menurutnya, salah satu tujuan seseorang menyembunyikan depresinya dari hadapan orang lain adalah untuk memanen energi yang berguna untuk mengatasi rasa sakit. Tanpa memberi kesempatan orang lain turut campur menilai.
Tujuan penyembunyian lain adalah karena takut membebani orang lain, malu, penyangkalan, takut ada serangan balik, khawatir akan terlihat lemah, merasa bersalah.
Termasuk juga adanya tuntutan media sosial terhadap tampilan kebahagiaan yang tidak masuk akal dan tuntutan kesempurnaan diri yang melekat pada seseorang.
Seluruhnya memaksa tampilan keadaan diri yang tak sebenarnya. Pura-pura ceria di media sosial.
Baca Juga: Apakah Speak Up Lewat Media Sosial Jadi Langkah Tepat Keluar dari Dating Violence?
Maka dari uraian para ahli kesehatan mental, maupun beberapa pihak yang pernah mengalami keadaan serupa di atas, unggahan ceria di media sosial bisa dipahami sebagai alarm tanda bahaya yang sedang dinyalakan.
Ada seseorang yang sedang membutuhkan pertolongan. Tujuan pengunggahannya: Untuk mengundang perhatian.
Karenanya para pengguna media sosial yang menyaksikan, sudah seharusnya memberi pertolongan.
Atau setidaknya melaporkan pada yang lebih ahli menangani keadaan. Bisa ahli kesehatan mental, juga polisi.
Hanya terlarut dalam kamuflase keceriaan konten, mengimajinasikan keadaan seolah baik-baik saja, bisa berakhir dengan penyesalan.
Pengunggah konten yang sesungguhnya terus mengalami peningkatan dosis kekerasan, juga kondisi depresi yang memburuk, bisa meninggal karena bunuh diri.
Atau, berakhir di tangan yang tidak bisa mengerem kekerasannya.
Kematian jadi titik berhentinya. Terlambat, telah melayang satu nyawa, sosok yang dicintai keluarganya. Maka, turut berduka Mega Suryani. Juga keluarga yang terus mencintainya. (*)