Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Seluruh konten yang diunggah, history saat melakukan pencarian kata kunci, dan profil yang diisi di media sosial; semuanya menjadi bahan analisis tentang siapa diri pengguna platform. Dengan demikian, produk-produk yang ditawarkan menjadi “tepat sasaran”.
Christian Fuchs dalam bukunya, Digital Labour and Karl Marx (2014), sudah mewanti-wanti soal ini.
Dia bahkan dengan ekstrem mengatakan bahwa para pengguna media sosial adalah “buruh tak dibayar” yang bekerja memproduksi data demi keuntungan penyedia layanan platform digital.
Dengan demikian, tanpa bermaksud menghalangi niat para orang tua dalam membagikan momen bahagia bersama anak-anaknya, mengunggah foto putra dan putri di media sosial berpotensi membuat mereka dikomersialisasi sejak dini.
Dampak ini tidak hanya berimbas pada para orang tua, tapi utamanya pada anak-anak itu sendiri. Saat mulai mengenal gawai dan bermain media sosial, mereka turut diserbu oleh berbagai iklan secara bertubi-tubi.
Namun semua yang kita bahas di atas bukanlah persoalan paling berbahaya dari mengunggah konten anak-anak di media sosial. Bahaya lain yang mengintai adalah penggunaan foto atau video anak-anak untuk penipuan.
Saat ini teknologi Artificial Intelligence (AI) bahkan sudah mampu melakukan manipulasi suara, menyalin suara anak untuk disalahgunakan.
Seperti misalnya sebuah modus kejahatan lama, yang menggunakan suara seseorang untuk seolah-olah sedang ditahan di kantor polisi dan meminta sejumlah uang.
Dengan teknologi AI, suara pelaku yang meminta uang itu bisa terdengar persis dengan suara anak-anak!
Baca Juga: 5 Hal yang Wajib Dipertimbangkan sebelum Mengunggah Foto Anak di Media Sosial