Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Belum lagi foto-foto wajah anak dapat dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga bisa dipadupadankan dengan tubuh orang lain seakan-akan berada di tengah lingkungan yang lain. Menyeramkan? Tentu saja!
Hal paling menakutkan yang mungkin terjadi disebut dengan penculikan digital (digital kidnapping).
Dalam penculikan digital, foto anak-anak yang diunggah di media sosial diambil tanpa izin, disunting sedemikian rupa, dan digunakan untuk bermacam-macam kepentingan dari pemilik akun yang tidak dikenal.
Kasus semacam ini pernah benar-benar terjadi pada seorang blogger bernama Lindsey Paris pada tahun 2012.
Dia menemukan foto anaknya berada bersama seorang remaja usia 16 tahun dan dipajang dalam sebuah homepage.
Kasus lain dialami Ashley (bukan nama sebenarnya). Foto kedua anak perempuannya, usia 3 dan 6, dipakai oleh seseorang di Tiongkok. Lebih mengerikannya lagi, akun si orang misterius tersebut berisi banyak foto anak perempuan.
Terlepas dari bahaya yang mengintai dari unggahan foto anak, ada prinsip yang harus diingat: Anak belum bisa memberikan persetujuan (consent) tentang pengambilan dan bahkan penyebaran foto dirinya di media sosial.
Ini artinya, pengambilan foto anak-anak itu dilakukan hanya demi kepentingan orang tua. Tanpa memikirkan apakah anak-anak sepakat atau tidak.
Hingga usia tertentu, anak belum bisa menunjukkan perasaan tidak nyaman atau tidak setuju terhadap bentuk penyebaran data di media sosial.
Maka, sampai anak bisa memberikan persetujuan dengan sadar sepenuhnya, akan lebih bijak bagi para orang tua mengurangi penyebaran foto buah hati di media sosial. Atau sekurang-kurangnya menutupi wajah mereka untuk mengantisipasi berbagai penyalahgunaan.
Selamat mengkreasi konten yang aman dan membahagiakan, Kawan Puan. (*)