Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Parapuan.co - Sudah jadi kelaziman para orang tua di berbagai waktu dan tempat, membagikan momen indah bersama anak-anaknya di media sosial. Momen indah itu bisa berupa foto maupun video, sebagai konten media sosial.
Tujuannya mungkin mulia dan sederhana: berbagi kebahagiaan. Namun tahukah Kawan Puan kalau ada bahaya mengintai di balik penyebaran momen yang melibatkan anak-anak itu?
Hal pertama yang perlu dipahami dalam mengunggah konten apapun di media sosial adalah kenyataan bahwa konten tersebut tidak lagi jadi milik pengunggahnya.
Mungkin saat mendaftarkan diri sebagai calon pengguna media sosial, kita sering tak sadar kalau secara otomatis kita sudah menyetujui perjanjian yang mengizinkan konten-konten unggahan menjadi milik penyedia layanan platform digital.
Penyedia layanan tersebut jadi memiliki izin untuk memanfaatkan berbagai konten milik pengguna, termasuk demi kepentingan komersial.
Konten-konten yang diunggah kemudian dianalisis oleh penyedia platform, untuk menjadi sasaran para pengiklan. Sebagai contoh, jika pengguna media sosial rajin mengunggah foto-foto saat sedang bersantai di kafe, kemungkinan iklan-iklan yang lewat di media sosialnya adalah tentang kafe, kopi, makanan.
Jika seseorang senang menampilkan konten-konten terkait sepak bola, maka akan lebih sering diperoleh iklan tentang kaos sepak bola atau provider penyedia tayangan sepak bola di linimasa.
Demikian pula yang terjadi jika intensif mengunggah foto-foto anak-anak. Maka tak terhindarkan iklan yang sering mampir adalah tentang baju anak, tempat liburan keluarga, atau provider penyedia tayangan film kartun.
Fenomena pemasaran semacam itu bernam micro-targeting. Artinya, pengiklan benar-benar menganalisis pangsa pasarnya hingga tingkat individu.
Baca Juga: 5 Etika Mengunggah Foto Anak di Media Sosial, Hindari Informasi Pribadi!
Seluruh konten yang diunggah, history saat melakukan pencarian kata kunci, dan profil yang diisi di media sosial; semuanya menjadi bahan analisis tentang siapa diri pengguna platform. Dengan demikian, produk-produk yang ditawarkan menjadi “tepat sasaran”.
Christian Fuchs dalam bukunya, Digital Labour and Karl Marx (2014), sudah mewanti-wanti soal ini.
Dia bahkan dengan ekstrem mengatakan bahwa para pengguna media sosial adalah “buruh tak dibayar” yang bekerja memproduksi data demi keuntungan penyedia layanan platform digital.
Dengan demikian, tanpa bermaksud menghalangi niat para orang tua dalam membagikan momen bahagia bersama anak-anaknya, mengunggah foto putra dan putri di media sosial berpotensi membuat mereka dikomersialisasi sejak dini.
Dampak ini tidak hanya berimbas pada para orang tua, tapi utamanya pada anak-anak itu sendiri. Saat mulai mengenal gawai dan bermain media sosial, mereka turut diserbu oleh berbagai iklan secara bertubi-tubi.
Namun semua yang kita bahas di atas bukanlah persoalan paling berbahaya dari mengunggah konten anak-anak di media sosial. Bahaya lain yang mengintai adalah penggunaan foto atau video anak-anak untuk penipuan.
Saat ini teknologi Artificial Intelligence (AI) bahkan sudah mampu melakukan manipulasi suara, menyalin suara anak untuk disalahgunakan.
Seperti misalnya sebuah modus kejahatan lama, yang menggunakan suara seseorang untuk seolah-olah sedang ditahan di kantor polisi dan meminta sejumlah uang.
Dengan teknologi AI, suara pelaku yang meminta uang itu bisa terdengar persis dengan suara anak-anak!
Baca Juga: 5 Hal yang Wajib Dipertimbangkan sebelum Mengunggah Foto Anak di Media Sosial
Belum lagi foto-foto wajah anak dapat dimanipulasi sedemikian rupa, sehingga bisa dipadupadankan dengan tubuh orang lain seakan-akan berada di tengah lingkungan yang lain. Menyeramkan? Tentu saja!
Hal paling menakutkan yang mungkin terjadi disebut dengan penculikan digital (digital kidnapping).
Dalam penculikan digital, foto anak-anak yang diunggah di media sosial diambil tanpa izin, disunting sedemikian rupa, dan digunakan untuk bermacam-macam kepentingan dari pemilik akun yang tidak dikenal.
Kasus semacam ini pernah benar-benar terjadi pada seorang blogger bernama Lindsey Paris pada tahun 2012.
Dia menemukan foto anaknya berada bersama seorang remaja usia 16 tahun dan dipajang dalam sebuah homepage.
Kasus lain dialami Ashley (bukan nama sebenarnya). Foto kedua anak perempuannya, usia 3 dan 6, dipakai oleh seseorang di Tiongkok. Lebih mengerikannya lagi, akun si orang misterius tersebut berisi banyak foto anak perempuan.
Terlepas dari bahaya yang mengintai dari unggahan foto anak, ada prinsip yang harus diingat: Anak belum bisa memberikan persetujuan (consent) tentang pengambilan dan bahkan penyebaran foto dirinya di media sosial.
Ini artinya, pengambilan foto anak-anak itu dilakukan hanya demi kepentingan orang tua. Tanpa memikirkan apakah anak-anak sepakat atau tidak.
Hingga usia tertentu, anak belum bisa menunjukkan perasaan tidak nyaman atau tidak setuju terhadap bentuk penyebaran data di media sosial.
Maka, sampai anak bisa memberikan persetujuan dengan sadar sepenuhnya, akan lebih bijak bagi para orang tua mengurangi penyebaran foto buah hati di media sosial. Atau sekurang-kurangnya menutupi wajah mereka untuk mengantisipasi berbagai penyalahgunaan.
Selamat mengkreasi konten yang aman dan membahagiakan, Kawan Puan. (*)