Tulisan ini merupakan pandangan pribadi dari penulis.
Maksud orang tua tersebut mungkin baik, yakni ingin menguatkan anaknya supaya tidak menangis.
Namun sikap semacam itu adalah bentuk contoh invalidasi dan bisa berdampak kurang baik terhadap perkembangan psikologis anak.
Reesa Sorin (2003) pernah meneliti tentang validasi perasaan anak dalam artikelnya yang berjudul Validating Young Children’s Feelings and Experiences of Fear.
Dalam riset tersebut, Sorin bahkan mewaspadai pesan-pesan seperti, “Tidak ada yang perlu ditakutkan,” atau “Jangan khawatir, kamu aman bersamaku,” yang masih dapat dikategorikan sebagai sikap menginvalidasi.
Bagi Sorin, hal pertama yang mesti dilakukan orang tua atau pengasuh adalah menempatkan diri di posisi si anak untuk memahami sungguh-sungguh apa yang menjadi ketakutan mereka.
Ketakutan yang kita atasi adalah ketakutan dalam pandangan psikologis anak, bukan dalam posisi kita sebagai orang dewasa.
Jika anak takut ada orang masuk rumahnya dan mencuri barang-barang, orang tua tidak bisa sesederhana mengatakan, “Lihat, tidak ada siapapun yang akan mencuri barang-barang kita! Semuanya aman, Nak.”
Mengatakan hal semacam itu artinya mengabaikan ketakutan dari sudut pandang anak dan berupaya mengatasi dari sudut pandang orang dewasa.
Jadi, apa yang mesti kita lakukan Kawan Puan?
Baca Juga: 3 Penyebab Ibu Gagal Sabar, Salah Satunya Tidak Memvalidasi Emosi